Perspektif Islam Terhadap HAM (Hak Asasi
Manusia)
Mengingat bahwa agama Islam merupakan agama
universal dan penutup agama-agama Ilahi, maka Islam memiliki agenda bagi seluruh
dimensi kehidupan manusia baik kehidupan personal, sosial dan lain sebagainya. Di antara agenda
tersebut adalah hak asasi manusia dan pelbagai tantangan yang dihadapi pada
masyarakat dewasa ini. Masalah ini dengan mengakui hak-hak dan kemuliaan
manusia akan nampak pada sebagian hak manusia yang dijelaskan sebagai hak-hak
warga kota dalam pandangan Islam.
Hak hidup, kebebasan berakidah, hak-hak warga kota non-Muslim, penafian rasialisme, kebebasan
berpikir, menerima hak-hak kaum minoritas, partisipasi masyarakat dalam
penetapan hukum, supervisi masyarakat atas pemerintah dan lain sebagainya
merupakan pembahasan hak asasi manusia di dunia modern dimana Islam sebagai school of thought yang
memberikan hidup melontarkan pandangan-pandangan yang jelas dalam masalah ini.
Mengingat
bahwa agama Islam merupakan agama universal dan penutup agama-agama Ilahi, maka
Islam memiliki agenda bagi seluruh dimensi kehidupan manusia baik kehidupan personal, sosial dan lain sebagainya. Di antara agenda tersebut
adalah hak asasi manus ia dan pelbagai tantangan yang dihadapi pada masyarakat
dewasa ini. Masalah ini dengan mengakui hak-hak dan kemuliaan manusia akan
nampak pada sebagian hak manusia yang dijelaskan sebagai hak-hak warga kota
dalam pandangan Islam.
1. Hak Hidup
Hak
pertama warga yang mengemuka dalam Islam dan sangat penting adalah hak untuk
hidup. Mengingat seluruh hak bergantung pada hidupnya seseorang. Artinya jiwa
dan hidup manusia memiliki kehormatan dan tiada seorang pun yang memiliki hak
untuk melanggarnya. Dan dalam keyakinan dan ideologi Islam, sedemikian manusia
mulia dan penuh nilai sehingga falsafah keberadaannya adalah untuk manusia. “Dia-lah
yang menciptakan segala yang ada di bumi
untuk kalian semua.”[1]
Makhluk
yang penuh kemuliaan ini, tentu saja memiliki hak hidup yang lebih pasti dan
tidak dibenarkan mengambil hak hidup darinya; kecuali dalam beberapa hal yang
ditentukan dalam hukum Islam itu pun dalah sebuah pengadilan yang diputuskan
beradasarkan keadilan. Mengambil hak hidup seseorang tanpa kesalahan (qishash,
fasad) maka hukumnya seolah-olah telah membunuh seluruh manusia. Artinya
kematian seseorang dalam komunitas manusia adalah kematian seluruh manusia.
Kehidupan seseorang adalah laksana menghidupkan masyarakat dan manusia
seluruhnya. “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah menghidupkan manusia
semuanya.”[2]
Dengan
memperhatikan maqâshid al-syari’ah (tujuan-tujuan syariat), maka kita
akan lebih banyak mengetahui kedalaman dan falsafah hak-hak warga dan manusia
dalam Islam. Dari tuturan-tuturan ulama Islam dapat disimpulkan bahwa maqâshid
al-syari’ah berasaskan pada sekumpulan hak-hak warga dan hak-hak manusia
yang dikeluarkan oleh komite hak asasi manusia dalam rangka menjaga kelima hal
ini. Memandang enteng dan melanggar hak-hak manusia bermakna melanggar salah
satu hak-hak ini. Hak-hak tersebut adalah: 1. Menjaga agama. 2. Menjaga
keselamatan jiwa. 3. Menjaga akal. 4. Menjaga generasi. 5. Menjaga harta.
Kita
amati, pada kelimat hak-hak ini, bahwa setelah menjaga agama sebagai
piagam kehidupan dunia manusia adalah menjaga keselamatan jiwa. Tujuan
Syari’ Muqaddas (Allah Swt), salah satunya, adalah untuk menjaga keselamatan
jiwa umat manusia. Dan seluruh hak-hak, aturan-aturan dan hukum agama dan non
agama adalah untuk menjaga kelimat hal di atas.
Dalam
pemerintahan Islam, seseorang (warga kota) adalah sebuah entitas yang memiliki
hak dan kewajiban. Dengan kata lain, dua unsur yang membentuk kepribadian
manusia adalah hak dan kewajiban. Artinya bahwa pemerintahan Islam, sebanding
dengan kewajiban-kewajiban dari sudut pandangan agama, sosial dan politik yang
dibebankan di pundak manusia maka Islam juga menetapkan hak-hak untuk manusia
dan hak pertama tersebut adalah hak hidup.
Hak
Hidup Janin:
Dalam
pemerintahan Islam, di samping hak hidup memiliki kehormatan maka demikian juga
hak sebelum hidup ketika manusia masih berada pada masa janin. Menjaga dan
menunaikan hak ini diatur sepenuhnya dalam Islam. Atas dasar itu, menggugurkan
janin termasuk kejahatan dan bahkan Islam menjaga dan mendukung harta benda dan
kepunyaan janin.
Hal
ini dilakukan supaya harta benda, kekayaan mereka tidak diganggu pada masa
janin dan masa kecil yang termasuk bagian dari empat prinsip maqâshid
al-syari’ah. Atas dasar itu, anak yang masih dalam kandungan memiliki
warisan dan wasiat. Dan hal ini menandaskan penjagaan hak-hak materialnya
sebelum ia lahir ke dunia.
2. Hak-hak Sosial Warga Kota dalam Islam
Dr.
Abdulkarim Zaidan seorang juris dan pakar hukum membagi hak-hak orang dalam
pemerintahan Islam menjadi dua bagian:
A.
Hak-hak Politik:
Hak-hak
politik dalam pandangan para pakar hukum adalah hak-hak yang diperoleh
seseorang karena ia merupakan anggota dan bagian dari sekumpulan masyarakat
seperti hak untuk memilih, hak untuk dipilih, memikul tugas-tugas
kemasyarakatan dan tanggung jawab sosial, hak musyawarah yang pada hakikatnya
merupakan hak umat dalam memilih pemimpin pemerintahan, hak untuk memakzulkan
dan memecat presiden karena hubungan rakyat dan presiden dalam hal ini adalah
hubungan wakil dan yang diwakili yaitu rakyat sebagai yang diwakili (muwakkil)
dan presiden adalah yang mewakili.
B.
Hak-hak Umum
Hak-hak
umum yang disebut sebagai hak-hak bagi manusia karena ia merupakan bagian dan
anggota masyarakat sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja. Hak-hak umum ini
ditetapkan untuk menjaga keselamatan, harta dan kebebasan manusia.
3. Kebebasan Berakidah
Pada
sebagian ayat al-Qur’an dijelaskan prinsip kebebasan berakidah. Artinya secara
asasi mengikuti keyakinan-keyakinan hati dan masalah-masalah nurani hanya
bermakna tatkala tidak terdapat desakan dan paksaan di dalamnya. “Tiada
paksaan untuk (memeluk) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang sesat. “ (Qs. Al-Baqarah [2]:256) “Dan jika
Tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang yang di muka bumi ini beriman. Maka
apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya seluruh mereka menjadi orang-orang
yang beriman?” (Qs. Yunus [10]:99) “Dan katakanlah, “Kebenaran itu
datang dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman), hendaklah ia
beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (Qs.
Al-Kahf [18]:29) “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak
mempersekutukan-(Nya). “(Qs. Al-An’am [6]:107)
Iman
kepada Tuhan dan prinsip-prinsip Islam sekali tidak dapat dipaksakan, melainkan
hanya dapat dilakukan dengan logika dan penalaran. Pikiran dan ruh hanya dapat
dimasuki dengan logika dan penalaran. Penting kiranya hakikat-hakikat dan perintah-perintah
Ilahi dijelaskan sehingga orang-orang memahami dan menerimanya dengan kehendak
dan ikhtiar yang mereka miliki.
Dimensi
lain kebebasan adalah kebebasan berpikir dan beride. Pada kebanyakan ayat
al-Qur'an manusia diseru untuk berpikir, berinteleksi dan berkontemplasi di
alam semesta. Manusia dituntut dengan energi akalnya, untuk mengenal segala
yang menguntungkan dan merugikan bagi dirinya. Ia diminta untuk bebas dari
segala pasungan, tawanan, kesesatan dan penyimpangan, sehingga ia dengan mudah
melenggang melaju ke depan untuk meraup kesempurnaan. "Kami akan
memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru
dunia dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa
Al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhan-mu tidak cukup (bagimu) bahwa
sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (Qs. Fusshilat [41]:53) "Dan
di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.
dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?"
(Qs. Al-Dzariyat [51]:20-21)[3]
4. Kebebasan Berekspresi
Pemerintahan
Islam memberikan kebebasan penuh sehubungan dengan masalah kebebasan
berekspresi dan menyampaikan pendapat. Tuhan mengaruniai manusia bersaman
dengan menciptakan manusia salah satu anugerah yang disebut sebagai “bayan.” “(Tuhan)
Yang Maha Pemurah. (Dia yang) Telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia telah
menciptakan manusia. Dia mengajarkan bayân (ucapan yang dapat mengungkap
isi hati) kepadanya.” (Qs. Al-Rahman [55]:1-4)
Bayân adalah ekspresi dan ucapan yang digunakan untuk mengungkap
isi hati. Masalah bayân bukanlah semata-mata masalah formal dan sekedar
ekspresi lisan. Allah Swt menganugerahkan seluruh nikmat eksistensial kepada
manusia, sehingga nikmat tersebut dimanfaatkan secara maksimal, optimal dan
pada tempatnya yang benar dan supaya mereka mengedepankan ajaran-ajaran
al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan anugerah utama dan manusia dapat memanfaatkan
nikmat ini dengan benar dan secara maksimal. Apabila manusia mengungkapkan
gagasan dan mengekspresikan pikirannya dalam pancaran cahaya al-Qur’an maka hal
itu akan sangat berguna bagi manusia.
Islam
memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengekspresikan gagasan dan
pikirannya. Demikian juga memberikan keluasan untuk mendengar pemikiran orang
lain dan memilih yang benar dari pikiran-pikiran tersebut. Karena dalam
pemerintahan Islam, ruang dialog dan tukar pendapat terbuka lebar. Namun dengan
syarat harus berdasarkan hikmah dan “mau’izah hasanah” serta tidak
melanggar pemikiran dan keyakinan orang lain.
Teks
al-Qur’an menyatakan dengan tegas tentang kebebasan berekspresi dan berdialog, “Sampaikanlah
berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, Yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”[4]
Pada
ayat ini terdapat beberapa poin asasi yang harus ditelisik sebagaimana berikut:
1. Kebebasan bersekspresi bagi seluruh hamba Tuhan karena pada
ayat tersebut dinyatakan dengan redaksi “qaul” (perkataan) yaitu apa pun
bentuk perkataan dan ucapan.
2. Perkataan dan kebebasan berekspresi dan berpikir tidak
bersifat satu arah. Tentu saja ada dialog di dalamnya. Ada yang mendengar juga
ada yang mengungkapkan pendapatnya. Pikiran-pikiran orang lain ditelaah
kemudian memilih yang terbaik dari pikiran dan gagasan tersebut.
3. Para hamba yang memperoleh petunjuk adalah orang-orang yang
mendengarkan pendapat, gagasan dan pikiran orang lain. Dan menerima pendapat,
gagasan dan pikiran yang lebih unggul dan lebih baik. Demikianlah puncak kebebasan
berekspresi dalam Islam yang mencakup seluruh manusia dengan syarat tidak
menciderai dan melanggar batas-batas dan hak-hak orang lain.
5. Dialog seara damai
Al-Qur’an
memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengedepankan “jidal ahsan” dan
“berdialog secara damai” dengan Ahlulkitab dan hubungannya dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip bersama.
Al-Qur’an
menyatakan, “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka,
dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan-mu adalah satu; dan
kami hanya kepada-Nya-lah berserah diri.” (Qs. Al-Ankabut [29]:46)
Pada
ayat-ayat sebelumnya yang mengemuka adalah model konfrontasi dengan para
penyembah berhala yang keras kepala dan jahil, yang sesuai dengan tuntutan
situasi dan kondisi yang ada, namun pada ayat ini yang mengedepan adalah mujâdalah
dan dialog dengan cara lebih lembut dengan Ahlulkitab. Karena mereka paling
tidak, telah mendengar sebagian dari instruksi-instruksi para nabi dan
kitab-kitab samawi dan lebih memiliki persiapan untuk mendengarkan ayat-ayat
Ilahi.
Al-Qur’an
menitahkan kepada kaum Muslimin untuk tidak mencela orang-orang kafir dan para
penyembah berhala; karena sebagai tandingannya mereka juga akan menggunakan
cara yang sama, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami hiasi bagi setiap umat pekerjaan mereka.
Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia memberitahukan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs. Al-An’am [6]:108)
Mengingat
penjelasan instruksi-instruksi Islam disertai dengan logika, argumentasi dan
model-model damai, al-Qur’an menganjurkan dengan sangat kepada sebagian orang
beriman, berdasarkan keprihatinan yang mendalam terhadap masalah penyembahan
berhala sehingga melontarkan makian kepada para penyembah berhala, untuk tidak
menghindari ucapan-ucapan tidak senonoh kepada mereka. Islam memandang perlu
ditunaikannya prinsip-prinsip adab, kehormatan dan sopan santun dalam
menjelaskan ajaran-ajarannya, bahkan di hadapan agama yang paling buruk dan
khurafat sekali pun. Karena setiap kelompok dan bangsa, bersikap puritan dan
fanatik terhadap keyakinan dan amalan-amalannya. Berkata-kata tidak senonoh dan
bersikap kasar akan membuat mereka semakin keras membela keyakinan mereka.
6. Menerima Hak-hak kaum Minoritas
Berdasarkan
teks al-Qur’an tiada paksaan dalam menerima agama. Hal ini menandaskan
kebebasan dalam menerima keyakinan dan pikiran. Kebebesan seperti ini merupakan
bentuk manifestasi keadilan sosial; sebagaimana warga Muslim lainnya, juga
mencakup seluruh warga non-Muslim tanpa adanya diskriminasi.
Terkait
dengan menunaikan keadilan, al-Qur’an menyatakan dalam bentuk khusus dengan
menitahkan kepada kaum Muslimin untuk bersikap adil terhadap mereka, “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”[5] Seluruh
upaya, harus dilakukan bagi kaum Mukmin dan Muslim untuk meraih keridhaan dan
kecintaan Allah Swt. Pada ayat ini, Allah Swt menyatakan cinta kepada
orang-orang yang berlaku adil. Siapakah orang yang berlaku adil ini? Mereka
adalah orang-orang yang berlaku baik dan adil kepada non-Muslim.
Sehubungan
dengan Ahlulkitab, Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad Saw bahwa apabila
engkau menunaikan dan berlaku adil terhadap mereka, “Jika mereka
(orang-orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika
kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu
sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah
(perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang adil.“ (Qs. Al-Maidah [5]:42)”
Rasulullah
Saw dalam membela hak-hak warga dan menyediakan keamanan personal (dzhimma)
menyebut mereka yang melanggar hak-hak mereka sebagai musuhnya. Sikap demikian
merupakan puncak kepedulian dan pembelaan terhadap hak-hak warga non-Muslim. “Man
adza dzimmiyan fa ana khashmuhu. Wa man kuntu khasmuhu khasamtuhu yauma
al-qiyamah.” (Barang siapa yang mengganggu seorang dzhimma maka aku adalah
musuhnya. Dan barang siapa yang menjadi musuhku maka ia juga akan menjadi
musuhku kelak di hari Kiamat.”[6]
Para
juris menjelaskan beberapa kaidah sekaitan dengan kebebasan-kebebasan personal
non-Muslim. Dalam kaidah tersebut, hak-hak kedua belah pihak terjaga. Hubungan
warga kota dengan yang lainnya demikian juga hubungan penguasa Islam terhadap
mereka, pendeknya hubungan-hubungan sosial di antara mereka berasasakan pada
penegakan dan penunaian keadilan. “Lahum ma lana wa ‘alaihim ma ‘alaina.”
Apa yang diperuntukkan bagi kita demikian juga bagi mereka. Apa yang dikenakan
bagi kita juga dikenakan bagi mereka.”[7]
7. Keadilan adalah Asas Hak-hak Sosial dalam Islam
Poros
dan fokus seruan samawi dan silsilah dakwah para nabi adalah keadilan bagi umat
manusia. Dalam dakwah para nabi, kita jumpai poin-poin common yaitu,
setelah menyeru kepada Tuhan Yang Esa, dan menjauhi thagut (tiran) dalam
masalah akidah, seruan para nabi adalah seruan keadilan sosial.
Keadilan
sesuai dengan definisinya adalah persamaan dan kesamaan yang dirasakan oleh
seluruh masyarakat. “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan
membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab
samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya
manusia bertindak adil.” (Qs. Al-Hadid [57]:25)
Supaya
seluruh manusia merasakan keadilan dan menuaikan hak-hak warga, redaksi ayat
dinyatakan dengan kalimat, “al-nas” (manusia). Keadilan merupakan sebuah
kebenaran yang menjadi masterpiece seruan dan dakwa para nabi. Tugas
para nabi adalah menunaikan keadilan bagi umat manusia tanpa memandang warna
kulit, ras, suku bangsa, kaya, miskin, beriman, tidak beriman dan lain
sebagianya. Berdasarkan keadilan, seluruh hak-hak warga akan dapat teralisir
dengan baik. Karena keadilan merupakan substansi yang menata dan mengatur
seluruh urusan dan pelbagai proses yang berkuasa dalam sistem kehidupan
manusia. Meminjam ungkapan Dr. Muhammad Ammarah, “Peradaban Islam, semenjak
berabad lalu, memandang dan mengamalkan hak asasi manusia tidak hanya sebagai
hak asasi manusia (an sich) melainkan sebagai kewajiban Ilahi dan taklif
syar’i manusia.” Sedemikian sehingga tidak dibenarkan bagi manusia (kaum
Muslimin) mengabaikannya atau bertindak berlebihan atau memandang enteng
masalah ini. Menjaga keselamatan jiwa, akal, agama, kehormatan, harta, negara,
ilmu, keadilan, persamaan, kebebasan, partisipasi manusia dalam urusan-urusan
kemasyarakatan melalui musyawarah, amar makruf dan nahi mungkar, bukan hanya
masalah-masalah hak asasi manusia. Kewajiban-kewajiban ini adalah
kewajiban-kewajiban Ilahiah dan tugas syar’i kaum Muslimin. Kewajiban ini tidak
semata-mata dijalankan sesuai keinginan pribadi, kapan saja mau dilakukan
dikerjakan dan kapan saja ingin ditinggalkan ditinggalkan begitu saja. Artinya
kewajiban-kewajiban ini bukan semata-mata sebuah deklarasi atau maklumat saja,
melainkan kesemua ini merupakan kewajiban Ilahi dan taklif syar’i yang harus
dikerjakan. Mereka yang memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menunaikan
kesemua ini, apabila tidak dikerjakan dengan baik, maka mereka akan dihukum dan
ditindak.
8. Memberikan Perhatian terhadap Prinsip-prinsip Bersama
Islam
adalah sebuah ajaran yang semenjak kemunculannya telah mempresentasikan slogan
koeksistensi kepada seluruh penduduk dunia. Ajaran ini menyeru kepada
Ahlulkitab, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, marilah (berpegang teguh) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu,
bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan
sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain
sebagai tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada
mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada
Allah).” (Qs. Ali Imran [3]:64)
Ayat
ini merupakan salah satu ayat penting yang menyeru Ahlulkitab kepada persatuan.
Argumentasi ayat mulia ini berbeda dengan model argumentasi ayat-ayat
sebelumnya. Ayat-ayat sebelumnya, secara langsung menyeru kepada Islam, namun
ayat ini menaruh perhatian pada poin-poin common antara Islam dan
Ahlulkitab.
Al-Qur’an
mengajarkan kepada kaum Muslimin bahwa apabila orang-orang tidak bersedia untuk
bekerja sama denganmu untuk mencapai tujuan-tujuan sucimu, janganlah berlipat
tangan dan berusahalah minimal pada tujuan-tujuan common, kalian dapat
bekerja sama dengan mereka dan menjadikannya sebagai asas untuk merealisasikan
tujuan-tujuan mulia kalian.[8]
9. Menafikan Rasialisme
Al-Qur’an,
mencela segala jenis pemikiran rasialisme dan memandang bahwa seluruh manusia
adalah anak dari satu ibu dan ayah dan tentu saja hampa keunggulan ras, kaum
dan agama.
Al-Qur’an
dalam pesan universalnya menolak rasialisme, berseru, “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Qs. Al-Hujurat [49]:13)
Salah
satu prinsip penting koeksistensi secara damai adalah persamaan dan kesetaraan
umat manusia. Karena rasialisme adalah ajaran yang memandang dirinya lebih
superior dan mendorong penganutnya untuk menghina bangsa-bangsa lainnya yang
akan menyebabkan munculnya pelbagai problematika bagi umat manusia. Perang
Dunia Pertama dan Kedua merupakan contoh nyata dari pelbagai problematika ini.
Perbedaan
warna kulit, ras, bangsa tidak akan menyebabkan keutamaan seseorang atas orang
lainnya. Dalam pandangan al-Qur’an, perbedaan bahasa dan warna kulit merupakan
salah satu ayat-ayat dam tanda-tanda kebesaran Tuhan. Perbedaan ini merupakan
media untuk mengenal satu dengan yang lainnya. Apabila seluruh manusia satu
bentuk, satu warna dan memiliki satu corak, tinggi dan berat maka kehidupan
manusia ini akan berujung pada chaos dan anarki.
Menurut
al-Qur’an, manusia tidak memiliki keutamaan dan kemuliaan atas manusia lainnya
kecuali dengan ketakwaan dan penghambaan kepada Tuhan. Seluruh manusia adalah
entitas yang membentuk “keluarga manusia” dan “umat yang satu”, “Sebelumnya,
manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan akibat
meluasnya kehidupan sosial), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar
gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan kitab (samawi) bersama
mereka dengan benar untuk memberikan keputusan di antara manusia tentang
perkara yang mereka perselisihkan.” (Qs. Al-Baqarah [2]:213)
Kebanyakan
ayat-ayat al-Qur’an menyeru manusia dengan seruan seluruh manusia, seperti “Ya
Bani Adam”[9] atau “Ya ayyuha
al-insan”[10] Seruan-seruan dan
ekspresi-ekspresi ini menandaskan bahwa kemanusiaan merupakan satu makna common
di antara para penghuni jagad raya. Orang-orang dari pelbagai daerah tidak
memiliki perbedaan dengan yang lainnya dari sisi kemanusiaan. Manusia sepanjang
perjalanan sejarah dari sisi bahasa, warna kulit, ras, bangsa dan sebagainya
adalah berbeda satu dengan yang lainnya. Namun dalam perspektif Islam, seluruh
umat manusia merupakan putra-putri satu ayah dan ibu (Adam dan Hawa) dan segala
perbedaan yang ada tidak akan menciderai kemanusiaan manusia ini.[11]
10. Dialog
Secara damai
Al-Qur’an
memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk mengedepankan “jidal ahsan” dan
“berdialog secara damai” dengan Ahlulkitab dan hubungannya dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip bersama.
Al-Qur’an
menyatakan, “Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka,
dan katakanlah, “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada
kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan-mu adalah satu; dan
kami hanya kepada-Nya-lah berserah diri.” (Qs. Al-Ankabut [29]:46)
Pada
ayat-ayat sebelumnya yang mengemuka adalah model konfrontasi dengan para
penyembah berhala yang keras kepala dan jahil, yang sesuai dengan tuntutan
situasi dan kondisi yang ada, namun pada ayat ini yang mengedepan adalah mujâdalah
dan dialog dengan cara lebih lembut dengan Ahlulkitab. Karena mereka paling
tidak, telah mendengar sebagian dari instruksi-instruksi para nabi dan
kitab-kitab samawi dan lebih memiliki persiapan untuk mendengarkan ayat-ayat
Ilahi.
Al-Qur’an
menitahkan kepada kaum Muslimin untuk tidak mencela orang-orang kafir dan para
penyembah berhala; karena sebagai tandingannya mereka juga akan menggunakan
cara yang sama, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami hiasi bagi setiap umat pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia
memberitahukan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs.
Al-An’am [6]:108)
Mengingat
penjelasan instruksi-instruksi Islam disertai dengan logika, argumentasi dan
model-model damai, al-Qur’an menganjurkan dengan sangat kepada sebagian orang
beriman, berdasarkan keprihatinan yang mendalam terhadap masalah penyembahan
berhala sehingga melontarkan makian kepada para penyembah berhala, untuk tidak
menghindari ucapan-ucapan tidak senonoh kepada mereka. Islam memandang perlu
ditunaikannya prinsip-prinsip adab, kehormatan dan sopan santun dalam
menjelaskan ajaran-ajarannya, bahkan di hadapan agama yang paling buruk dan
khurafat sekali pun. Karena setiap kelompok dan bangsa, bersikap puritan dan
fanatik terhadap keyakinan dan amalan-amalannya. Berkata-kata tidak senonoh dan
bersikap kasar akan membuat mereka semakin keras membela keyakinan mereka.
11. Menyambut
Tawaran Damai
“...Kecuali
orang-orang yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan
kaum itu telah ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepadamu
sedang hati mereka merasa keberatan untuk memerangimu dan memerangi kaumnya.
Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap
kamu, lalu pastilah mereka memerangimu. Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan
tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu, maka Allah tidak
memberi jalan bagimu (untuk menawan dan membunuh) mereka.” (Qs. Al-Nisa [4]:90)
Terdapat
dua kabilah di antara kabilah-kabilah Arab bernama “Bani Dhamrah” dan “Asyja’”;
Kabilah Bani Dhamrah menandatangani perjanjian damai dengan kaum Muslimin dan
kaum Asyja’ juga merupakan mitra Bani Dhamrah.
Setelah
beberapa lama kaum Muslimin menerima kabar bahwa kaum Asyja’ berjumlah tujuh
ratus orang mendatangi batalyon Mas’ud bin Rujailah dekat Madinah. Rasulullah
Saw mengutus beberapa orang wakil kepada mereka untuk mencari tahu tujuan
mereka di tempat itu. Mereka menyatakan, “Kami datang untuk mengikat perjanjian
damai dengan Muhammad Saw. Tatkala Rasulullah Saw mengetahui hal ini, beliau
memerintahkan kaum Muslimin untuk mengantarkan banyak kurma sebagai hadiah
kepada mereka. Kemudian menghubungi mereka dan mereka menyatakan bahwa kami
tidak memiliki kemampuan untuk berperang melawan musuh-musuh Anda karena jumlah
kami sedikit; dan juga tidak memiliki kekuatan dan keinginan untuk berperang
melawan Anda karena daerah kami berdekatan dengan daerah Anda; karena itu kami
datang untuk menandatangani perjanjian damai. Pada waktu itu, ayat yang
disebutkan di atas turun dan memberikan instruksi penting kepada kaum Muslimin
dalam masalah ini.[12]
12. Mendorong
Perdamaian Internasional
Islam
semenjak permulaan telah mencanangkan prinsip-prinsip perdamaian dan melalui
jalan tersebut, Islam telah memuluskan perdamaian internasional dan
koeksistensi secara damai di antara pemeluk agama-agama dunia.
Dalam
masalah ini cukup bagi kita mengetahui bahwa perdamaian (shulh) adalah ruh
agama Islam. Sebagaimana yang telah disebutkan redaksi Islam derivasinya dari
kata sa-la-m dan atas dasar itu mengandung makna keselamatan dan ketenangan;
karena itu al-Qur’an menitahkan seluruhnya untuk memasuki wilayah “salam dan
perdamaian”
“Hai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam wilayah keselamatan secara
keseluruhan (baca: sempurna).”
(Qs. Al-Baqarah [2]:208)
Sa-la-m lebih tinggi kedudukannya dan lebih lestari ketimbang
perdamaian (shu-lh). Karena sa-la-m bermakna keselamatan dan
keamanan serta tidak memiliki satu bentuk perdamaian yang bersifat temporal
secara lahir.
Allah
Swt menitahkan Rasulullah Saw bahwa apabila para musuhmu memasuki wilayah
perdamaian dan condong kepadanya, maka engkau juga (Muhammad) memanfaatkan
kesempatan itu dengan baik dan bersepakatlah dengan mereka, “Dan jika mereka
condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakallah kepada
Allah.” (Qs. Al-Anfal [8]:61)
Kecintaan
Islam terhadap perdamaian yang terjalin di antara manusia sedemikian mendalam
sehingga memberikan berita gembira kepada orang-orang beriman bahwa boleh jadi
berdasarkan perilaku damai kaum Muslimin, antara mereka dan para musuh akan menjalin
hubungan persahabatan, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antara
kamu dan orang-orang yang kamu musuhi di antara musyrikin (melalui jalan
Islam). Allah adalah Maha Kuasa. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(Qs. Al-Mumtahanah [60]:70)
Kelompok
non-Muslim terbagi menjadi dua: Kelompok yang berdiri berhadap-hadapan dengan
kaum Muslimin, menghunus pedang di hadapan mereka, mengeluarkan kaum Muslimin
dari rumah dan tempat kelahiran mereka secara paksa. Dan singkatnya, permusuhan
dan kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin dinampakkan secara
terang-terangan dalam ucapan dan perbuatan.
Taklif
dan tugas kaum Muslimin dalam menghadapi kelompok ini adalah menghindar untuk
menjalin apa pun bentuk hubungan. Contoh nyata dari persoalan ini adalah kaum
musyrikin Mekkah, utamanya para pemimpin Quraisy; kelompok yang secara resmi
menampakkan kebencian dan permusuhan dengan Islam dan kaum Muslimin. Kelompok
lainnya juga menolong mereka dalam hal ini.
Adapun
kelompok kedua, meski mereka kafir dan musyrik, mereka tidak ada urusannya
dengan kaum Muslimin. Kelompok ini tidak menampakkan kebencian juga tidak
memerangi kaum Muslimin. Juga tidak melakukan tindakan pengusiran kaum Muslimin
dari rumah dan kampung halaman mereka; bahkan sekelompok dari mereka mengikat
perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Karena itu, kaum Muslimin harus bersikap
loyal dengan mereka dan berusaha berlaku adil terhadap mereka. Contoh nyata
dari kelompok ini adalah kaum Khuzai yang menandatangani perjanjian damai
dengan kaum Muslimin.[13]
Singkatnya,
sokongan terhadap perdamaian dan koekistensi secara damai dalam politik luar
negeri merupakan program yang paling rasional dan paling dinamis dan Islam juga
telah mencanangkan program seperti ini dan tetap mempersiapkan kekuatan untuk
melakukan tindakan pembelaan (defence) pada kondisi-kondisi darurat.
Sedemikian
pentingngnya perdamaian dan koeksistensi secara damai dalam Islam sehingga
bahkan pada perhimpunan-perhimpunan kecil dan dalam mengatasi
perbedaan-perbedaan keluarga juga menitahkan untuk berdamai dan bertoleran. “wa
al-shulh khair.”[14]
Seluruh
hal yang disampaikan di atas secara ringkas adalah sikap Islam terhadap masalah
hak asasi manusia dan hak-hak warga negara, Muslim dan non-Muslimn, dalam
masyarakat dan pemerintahan Islam. Sikap ini mengandung aturan paling mutakhir
di dunia dewasa ini dan dengan lancang dapat dikatakan bahwa tiada satu pun
maktab, school of thought dan lembaga-lembaga internasional yang
terdapat di dunia yang mampu menunaikan hak asasi manusia seperti ini. Akhir
kata, apabila seseroang dalam busana Islam, apakah ia merupakan aparat atau
selain aparat, melanggar hak-hak warga maka perbuatannya tersebut termasuk
sebagai kejahatan personalnya dan tidak ada sangkut pautnya dengan Islam.
[IQuest]
هُوَ الَّذِیْ خَلَقَ لَکُمْ مَّا فِی الْأَرْضِ جَمِیْعًا
«مَنْ قَتَلَ نَفْسَاً بِغَیرِ نَفْس أَوْ فَسَادَاً فِیالأَرْض
فَکَأَنَما قَتَلَالناسَ جَمِیعَاً وَ مَنْ أَحْیاها فَکأَنَما أَحْیاالناس
جَمِیعَاً»
[3].
Diadaptasi dari Indeks 1619 (Site: 1671).
«فبشر عبادی الذین یستمعون القول فیتبعون احسنه، اولئک الذین هداهم الله
و اولئک هم أولوا الألباب»
«لا ینهاکم الله عنالذین لم یقتلوکم فیالدین و لم یخرجوکم من
دیرکم و أن تبووهم و تقسطوا و إلیهم ان الله یحبالمقسطین»
[7].
Ibid.
[8].
Silahkan lihat, Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, et al, jil. 2, hal. 450.
[9].
Redaksi “Ya Bani Adam”, disebutkan pada beberapa ayat al-Qur’an, ayat-ayat, 26,
27, 35 dan 171 surah al-A’raf (7) dan ayat 70 surah al-Isra.
[10].
Qs. Al-Infithar [82]:6; (Qs. Al-Insyiqaq [84]:60); dan kurang lebih 60 ayat
lainnya.
[11].
Silahkan lihat, al-Nizhâm al-Dauli al-Jadid baina al-Wâqi’ al-Hâli wa
al-Tashawwur al-Islâmi, Yasir Abu Syabana, hal. 542-543.
[12].
Tafsir Nemune, Nashir Makarim Syirazi, et al, jil. 4, hal. 54.
[13].
Tafsir Nemune, jil. 22, hal. 31-32.
[14].
Diadaptasi dari Pertanyaan No. 1619 (Site: 1671)
Perspektif Islam Terhadap HAM (Hak Asasi Manusia)
4/
5
Oleh
Redaksi