PEMIKIRAN KEPENDIDIKAN KH. HASYIM ASY’ARI
DISUSUN OLEH :
RISKA NUR HASANAH
LAILATUN NAZHIFAH
TETI IRAWATI
KHOIROTUL MUDZAKIROH
SAHLAN NASUTION
YUSUF
YUDI FERIZA
BUDI MULIA RAHMAT
SYARIF
UMDATUL UDHIYAH
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi
Wabarokatuh.
Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan
kehadirat Allah SWT yang dengan memberi taufik, hidayah serta rahmat-Nyalah
kami bisa menyelesaikan tugas semester ganjil ini dengan sebaik mungkin.
Tak lupa untaian terima kasih dari kami kepada Bapak Dr. Suwendi M.Ag yang telah memberi bimbingan dan arahan kepada kami agar makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tak lupa pula untaian terima kasih kami ucapkan kepada teman-teman yang selalu membantu baik moril maupun materil serta pihak-pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini.
Adapun tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas semesterganjil di Universitas
Islam Jakarta dengan mata
kuliah filsafat pendidikan islam. Kami menyadari makalah ini masih sangat
jauh dari sempurna, untuk itu kami selaku penyusun makalah ini mohon kritik dan
saran bagi para pembaca agar di kemudian hari dapat disempurnakan dengan baik.
Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita yang membacanya dan akan lebih baik lagi jika diamalkan
menjadi ilmu yang bermanfaat terutama bagi para pembaca yang membutuhkannya.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi
Wabarokatuh.
Jakarta, 28 Desember 2010
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak pertengahan abad ke-19 telah
banyak para pemuda Indonesia yang belajar di Mekkah dan Madinah untuk menekuni agama
Islam di pusat-pusat studi di Timur Tengah, terutama di Mekkah, karena di sana banyak
bertebaran berbagai literatur ke-Islaman. Realitas ini sangat memungkinkan bagi
mereka untuk mencapai tingkat pengetahuan yang lebih luas serta pandangan yang
lebih terbuka mengenai sosok Islam.
Diantara mereka yang berhasil dalam
mengkaji Islam adalah Syekh Nawawi al Bantani dari Banten, Jawa Barat, Syekh
Mahfudz Attarmisi dari Pacitan Jawa Timur, serta Syekh Ahmad Chatib Sambas dari
Kalimantan. Kesuksesan mereka ini ditandai dengan kedalaman ilmu yang mereka
miliki, hal ini bukan saja diakui oleh masyarakat Tanah Suci Mekkah saja, tapi juga
diakui oleh masyarakat Arab pada umumnya.
Ketokahan K. H. Hasyim Asy’ari sering kali dicampurkan dalam
persoalan sosial politik. Hal ini dapat dipahami karena sebagian dari sejarah
kehidupan K. H. Hasyim Asy’ari juga dihabiskan untuk merebut kedaulatan bangsa
Indonesia melawan hegemoni kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih organisasi
yang didirikannya, Nahdatul Ulama, pada masa itu cukup aktif melakukan
usaha-usaha sosial politik.
Akan tetapi, K. H. Hasyim Asy’ari sejatinya
merupakan tokoh yang piawai dalam gerakan dan pemikiran kependidikan.
Sebagaimana dapat disaksikan bahwa K. H. Hasyim Asy’ari bisa dikategorikan
sebagai generasi awal yang mengembangkan sistem pendidikan pesantren, terutama
di Jawa.
BAB II
BIOGRAFI KH. HASYIM ASY’ARI
A. KELAHIRAN DAN MASA KECIL
Kiai
Haji Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqa’dah 1287
H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M di Desa Gedang, satu kilometer
sebelah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ayahnya bernama Kiai Asy’ari berasal
dari Demak, Jawa Tengah. Ibunya bernama Halimah, puteri Kiai Utsman, pendiri
Pesantren Gedang.
Dilihat
dari garis keturunan itu, beliau termasuk putera seorang pemimpin agama yang
berkedudukan baik dan mulia. KH .M. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan
kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng). Garis keturunan ini bila
ditelusuri lewat ibundanya sebagai berikut: Muhammad Hasyim bin Halimah binti
Layyinah binti Sihah bin Abdul Jabar bin Ahmad bin Pangeran Sambu bin Pangeran
Nawa bin Joko Tingkir alias Mas Karebet bin Prabu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI
adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa
lahirlah Lembu Peteng(BrawijayaVII).
Semenjak masih anak-anak, Muhammad Hasyim
dikenal cerdas dan rajin belajar. Mula-mula beliau belajar agama dibawah
bimbingan ayahnya sendiri. Otaknya yang cerdas menyebabkan ia lebih mudah
menguasai ilmu-ilmu pengetahuan agama, misalnya: Ilmu Tauhid, Fiqih, Tafsir,
Hadits dan Bahasa Arab. Karena kecerdasannya itu, sehingga pada umur 13 tahun
ia sudah diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar para santri yang usianya jauh
lebih tua dari dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim kecil juga dikenal rajin bekerja. Watak
kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha memenuhi
kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim
kecil selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan
bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk
bekal menuntut ilmu.
B. MENCARI ILMU
Kemauan yang keras untuk mendalami ilmu agama, menjadikan diri
Muhammad Hasyim sebagai musyafir pencari ilmu.Kerinduan akan tanah suci
mengetuk hati Kiai Hasyim untuk pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M,
beliau berangkat kembali ke Mekah.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan
mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara
lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib
al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said
al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas
al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi,
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha
al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.
Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai
Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan
Syekh Mahfudzh al-Turmusi.
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk
mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh
Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau
mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah
al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah),
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas,
Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri
(Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Sepulangnya ke tanah air beliau tinggal di Kediri selama beberapa
bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang
yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah
itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.
KH.
M. Hasyim Asy’ari adalah seorang ulama yang luar biasa. Hampir seluruh kiai di
Jawa mempersembahkan gelar “Hadratus Syekh” yang artinya “Maha Guru” kepadanya,
karena beliau adalah seorang ulama yang secara gigih dan tegas mempertahankan
ajaran-ajaran madzhab. Dalam hal madzhab, beliau memandang sebagai masalah yang
prinsip, guna memahami maksud sebenarnya dari Al Quran dan Hadits. Sebab tanpa
mempelajari pendapat ulama-ulama besar khususnya Imam Empat: Hanafi, Maliki,
Syafi'i dan Hanbali, maka hanya akan menghasilkan pemutar balikan pengertian
dari ajaran Islam itu sendiri.
C. PENDIRIAN PESANTREN TEBUIRENG
Dalam rangka mengabdikan diri untuk
kepentingan umat, maka KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng,
Jombang pada tahun 1899 M. Dengan segala kemampuannya, Tebuireng kemudian berkembang
menjadi “pabrik” pencetak kiai. Sehingga pemerintah Jepang perlu mendata jumlah
kiai di Jawa yang “dibikin” di Tebuireng. Pada tahun 1942 Sambu Bappang
(Gestapo Jepang) berhasil menyusun data tentang jumlah kiai di Jawa mencapai
dua puluh lima ribu kiai. Kesemuanya itu merupakan alumnus Tebuireng.
Dari sini dapat dilihat betapa besar
pengaruh Tebuireng dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Jawa pada awal
abad XX. Ribuan kiai di Jawa hampir seluruhnya hasil didikan Tebuireng. Karena
itu tidaklah heran bila kemudian juga tumbuh ribuan pesantren dipimpin para
kiai yang gigih mempertahankan madzhab. semua itu dapat dipahami sebagai hasil
pengabdian Hadratus Syekh Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari dalam perjalanan
yang cukup panjang.
D. PENDIDIK SEJATI
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam
mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan
persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun
1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai
bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif
bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat,
dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam
koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan
ekonomi bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan
ekonomi santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada
yang tanpa bekal sedikitpun.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan
yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di
Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar
ngaji.”
E. SEPAK TERJANG KH. HASYIM DILUAR DUNIA PESANTREN
Pengabdian
Kiai Hasyim bukan saja terbatas pada dunia pesantren, melainkan juga pada
bangsa dan negara. Sumbangan beliau dalam membangkitkan semangat nasionalisme
dan patriotisme pada saat jiwa bangsa sedang terbelenggu penjajah, tidaklah
bisa diukur dengan angka dan harta. Memang cukup sulit mengelompokkan mana yang
pengabdian terhadap agama, dan yang mana pula pengabdian beliau terhadap bangsa
dan negara. Sebab ternyata kedua unsur itu saling memadu dalam diri Kiai
Hasyim. Di satu pihak beliau sebagai pencetak ribuan ulama atau kiai di seluruh
Jawa, di lain pihak belaiu seringkali ditemui tokoh-tokoh pejuang nasional
seperti Bung Tomo maupun Jenderal Soedirman guna mendapatkan saran dan
bimbingan dalam rangka perjuangan mengusir penjajah.
Pada akhir April 1942, KHM. Hasyim Asy’ari
ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Jombang. Hal ini disebabkan
karena beliau menentang kebijakan jepang dalam menerapkan budaya ‘ saikerei’ di
tanah air. Kemudian beliau dipindah ke
Mojokerto, dan akhirnya ditawan bersama-sama serdadu Sekutu di dalam penjara
Bubutan, Surabaya.
Selama dalam tawanan Jepang, Kiai Hasyim
disiksa habis-habisan hingga jari-jemari kedua tangannya remuk dan tak lagi
bisa digerakkan. Namun berkat pertolongan Allah, kekejaman dan kebiadaban
tentara Jepang itupun luluh karena serbuan damai ribuan santri dan unjuk rasa
para kiai alumni Tebuireng. Beberapa kiai dan santri meminta dipenjarakan
bersama-sama Kiai Hasyim sebagai tanda setia kawan dan pengabdian kepada guru
dan pemimpin mereka yang saat itu telah berusia 70 tahun. Peristiwa itu cukup
membakar dunia pesantren dalam memulai gerakan bawah tanah menentang dan
menghancurkan Jepang. Pihak pemerintah Jepang agaknya mulai takut, hingga
kemudian pada 6 Sya’ban 1361 H bertepatan dengan tanggal 18 Agustus 1942, Kiai
Hasyim dibebaskan.
Pada tanggal 7 Ramadlan 1366 bertepatan
dengan tanggal 25 Juli 1947, KHM. Hasyim Asy’ari berpulang ke Rahmayullah. Atas
jasa beliau, pemerintah Indonesia menganugerahi gelar “Pahlawan Nasional”.
BAB III
KARYA KH.HASYIM ASY’ARI
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan
berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu
untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu
ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis,
juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang
merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat
Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu
menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min
al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah,
Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis
di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan
Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban
atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum
memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll.
Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa
dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin,
keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.
Diantara
karya beliau adalah :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham
wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang
tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360
H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah
Nahdhatul Ulama. Pembukaan
undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab
al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk
memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’
Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis
Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid
al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis tahun
1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’
al-Maulid bi al-Munkarat.
Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri
dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits
al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang
menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan
bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh
‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani.
Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara
Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah.
Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak
dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a
‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan
19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas
perintah KH. M. Yusuf Hasyim,
diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah
an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa
al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat,
syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju
ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi
Maqat Ta’limih. Tatakrama
pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik,
merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256
H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin
al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim
wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah
manuskrip karya KH Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah
‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al- Islam
Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah
at-Tawhidiyah.
3. Al-Qala’id
fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah
al-Jama’ah
5. Tamyiz
al-Haqq min al-Bathil
6. Al-Jasus
fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik
Shughra
BAB IV
PEMIKIRAN KEPENDIDIKAN KH.M. HASYIM
ASY’ARI
Hasyim
Asy’ari yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, serta banyak
menuntut ilmu dan berkecimpung secara langsung di dalamnya, di lingkungan
pendidikan agama Islam khususnya. Dan semua yang dialami dan dirasakan beliau
selama itu menjadi pengalaman dan mempengaruhi pola pikir dan pandangannya
dalam masalah-masalah pendidikan.
Salah
satu karya monumental Hasyim Asy’ari yang berbicara tentang pendidikan adalah
kitabnya yang berjudul Adab al Alim wa al Muta’allim fima Yahtaj ilah al
Muta’alim fi Ahuwal Ta’allum wama Yataqaff al Mu’allim fi Maqamat Ta’limih, Pembahasan terhadap masalah pendidikan
lebih beliau tekankan pada masalah etika dalam pendidikan, meski tidak menafikan
beberapa aspek pendidikan lainnya. Di antara pemikiran beliau dalam masalah
pendidikan adalah:
a. Signifikansi Pendidikan
Beliau menyebutkan bahwa tujuan utama ilmu pengetahan adalah
mengamalkan. Hal itu dimaksudkan agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat
sebagai bekal untuk kehidupan akhirat kelak. Terdapat dua hal yang harus
diperhatikan dalam menuntut ilmu, yaitu : Pertama, bagi murid
hendaknya berniat suci dalam menuntut ilmu, jangan sekali-kali berniat untuk
hal-hal duniawi dan jangan melecehkannya atau menyepelekannya. Kedua,
bagi guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu,
tidak mengharapkan materi semata. Agaknya pemikiran beliau tentang hal tersebut
di atas, dipengaruhi oleh pandangannya akan masalah sufisme (tasawuf), yaitu
salah satu persyaratan bagi siapa saja yang mengikuti jalan sufi menurut beliau
adalah “niat yang baik dan lurus”.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Belajar menurut Hasyim Asy’ari merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah, yang mengantarkan manusia untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniatkan untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai Islam, bukan hanya untuk sekedar menghilangkan kebodohan.
Pendidikan hendaknya mampu menghantarkan umat manusia menuju
kemaslahatan, menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan hendaknya mampu
mengembangkan serta melestarikan nilai-nilai kebajikan dan norma-norma Islam
kepada generasi penerus umat, dan penerus bangsa. Umat Islam harus maju dan
jangan mau dibodohi oleh orang lain, umat Islam harus berjalan sesuai dengan
nilai dan norma-norma Islam.
b. Tugas dan Tanggung Jawab Murid
1) Etika yang harus diperhatikan dalam belajar
·
Membersihkan hati dari berbagai gangguan
keimanan dan keduniaan
·
Membersihkan niat, tidak menunda-nunda
kesempatan belajar, bersabar dan qanaah
·
Pandai mengatur waktu
·
Menyederhanakan makan dan minum
·
Berhati-hati (wara’)
·
Menghindari kemalasan
·
Menyedikitkan waktu tidur selagi tidak
merusak kesehatan
·
Meninggalkan hal-hal yang kurang
berfaedah.
Dalam hal ini terlihat, bahwa Hasyim
Asy’ari lebih menekankan kepada pendidikan ruhani atau pendidikan jiwa, meski
demikian pendidikan jasmani tetap diperhatikan, khususnya bagaimana mengatur
makan, minum, tidur dan sebagainya. Makan dan minum tidak perlu terlalu banyak
dan sederhana, seperti anjuran Rasulullah Muhammad saw. Serta jangan banyak
tidur, dan jangan suka bermalas-malasan. Banyakkan waktu untuk belajar dan
menuntut ilmu pengetahuan, isi hari-hari dan waktu yang ada dengan hal-hal yang
bermanfaat.
2) Etika seorang murid terhadap guru
·
Hendaknya selalu memperhatikan dan
mendengarkan guru
·
Memilih guru yang wara’
·
Mengikuti jejak guru
·
Memuliakan dan memperhatikan hak guru
·
Bersabar terdapat kekerasan guru
·
Berkunjung pada guru pada tempatnya dan
minta izin lebih dulu
·
Duduk dengan rapi bila berhadapan dengan
guru
·
Berbicara dengan sopan dan lembut dengan
guru
·
Dengarkan segala fatwa guru dan jangan
menyela pembicaraannya
·
Gunakan anggota kanan bila menyerahkan
sesuatu pada guru.
Etika seperti tersebut di atas, masih banyak dijumpai pada
pendidikan pesantren sekarang ini, akan tetapi etika seperti itu sangat langka
di tengah budaya kosmopolit. Di tengah-tengah pergaulan sekarang, guru
dipandang sebagai teman biasa oleh murid-murid, dan tidak malu-malu mereka
berbicara lebih nyaring dari gurunya. Terlihat pula pemikiran yang ditawarkan
oleh Hasyim Asy’ari lebih maju. Hal ini, misalnya terlihat dalam memilih guru
hendaknya yang profesional, memperhatikan hak-hak guru, dan sebagainya.
3) Etika murid terhadap pelajaran
·
Memperhatikan ilmu yang bersifat fardhu
‘ain
·
Berhati-hati dalam menanggapi ikhtilaf
para ulama
·
Mendiskusikan dan menyetorkan hasil
belajar pada orang yang dipercaya
·
Senantiasa menganalisa dan menyimak ilmu
·
Bila terdapat hal-hal yang belum dipahami
hendaknya ditanyakan
·
Pancangkan cita-cita yang tinggi
·
Kemanapun pergi dan dimanapun berada
jangan lupa membawa catatan
·
Pelajari pelajaran yang telah dipelajari
dengan continue (istiqamah)
·
Tanamkan rasa antusias dalam belajar.
Penjelasan tersebut di atas seakan memperlihatkan akan sistem
pendidikan di pesantren yang selama ini terlihat kolot, hanya terjadi
komunikasi satu arah, guru satu-satunya sumber pengajaran, dan murid hanya
sebagai obyek yang hanya berhak duduk, dengar, catat dan hafal (DDCH) apa yang
dikatakan guru. Namun pemikiran yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari lebih
terbuka, inovatif dan progresif. Beliau memberikan kesempatan para santri untuk
mengambil dan mengikuti pendapat para ulama, tapi harus hati-hati dalam
menanggapi ikhtilaf para ulama.
Hal tersebut senada dengan pemikiran beliau tentang masalah fiqh,
beliau meminta umat Islam untuk berhati-hati pada mereka yang mengklaim mampu
menjalankan ijtihad, yaitu kaum modernis, yang mengemukakan pendapat mereka
tanpa memiliki persayaratan yang cukup untuk berijtihad itu hanya berdasarkan
pertimbangan pikiran semata. Beliau percaya taqlid itu diperbolehkan bagi
sebagian umat Islam, dan tidak boleh hanya ditujukan pada mereka yang mampu
melakukan ijtihad.
c. Tugas Dan Tanggung Jawab Guru
1) Etika seorang guru
·
Senantiasa mendekatkan diri pada Allah
·
Takut pada Allah, tawadhu’, zuhud dan
khusu’
·
Bersikap tenang dan senantiasa
berhati-hati
·
Mengadukan segala persoalan pada Allah
·
Tidak menggunakan ilmunya untuk meraih
dunia
·
Tidak selalu memanjakan anak
·
Menghindari tempat-tempat yang kotor dan
maksiat
·
Mengamalkan sunnah Nabi
·
Mengistiqamahkan membaca al- Qur’an
·
Bersikap ramah, ceria dan suka menabur
salam
·
Menumbuhkan semangat untuk menambah ilmu
·
Membiasakan diri menulis, mengarang dan
meringkas.
Catatan yang menarik dan perlu dikedepankan dalam membahas
pemikiran dan pandangan yang ditawarkan oleh Hasyim Asy’ari adalah etika atau
statement yang terakhir, dimana guru harus membiasakan diri menulis, mengarang
dan meringkas, yang pada masanya jarang sekali dijumpai. Dan hal ini beliau
buktikan dengan banyaknya kitab hasil karangan atau tulisan beliau.
2) Etika guru dalam mengajar
·
Jangan mengajarkan hal-hal yang syubhat
·
Mensucikan diri, berpakaian sopan dan
memakai wewangian
·
Berniat beribadah ketika mengajar, dan
memulainya dengan do’a
·
Biasakan membaca untuk menambah ilmu
·
Menjauhkan diri dari bersenda gurau dan
banyak tertawa
·
Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan
lapar, mengantuk atau marah
·
Usahakan tampilan ramah, lemah lembut,
dan tidak sombong
·
Mendahulukan materi-materi yang penting
dan sesuai dengan profesional yang dimiliki
·
Menasihati dan menegur dengan baik jika
anak didik bandel
·
Bersikap terbuka terhadap berbagai
persoalan yang ditemukan
·
Memberikan kesempatan pada anak didik
yang datangnya terlambat dan ulangilah penjelasannya agar tahu apa yang
dimaksudkan
·
Beri anak kesempatan bertanya terhadap
hal-hal yang belum dipahaminya.
Terlihat bahwa apa yang ditawarkan
Hasyim Asy’ari lebih bersifat pragmatis, artinya, apa yang ditawarkan beliau
berangkat dari praktik yang selama ini dialaminya. Inilah yang memberikan nilai
tambah dalam konsep yang dikemukakan oleh Bapak santri ini.Terlihat juga betapa
beliau sangat memperhatikan sifat dan sikap serta penampilan seorang guru.
Berpenampilan yang terpuji, bukan saja dengan keramahantamahan, tetapi juga
dengan berpakaian yang rapi dan memakai minyak wangi.
Agaknya pemikiran Hasyim Asy’ari juga sangat maju dibandingkan
zamannya, ia menawarkan agar guru bersikap terbuka, dan memandang murid sebagai
subyek pengajaran bukan hanya sebagai obyek, dengan memberi kesempatan kepada
murid-murid bertanya dan menyampaikan berbagai persoalan di hadapan guru.
3) Etika guru bersama murid
·
Berniat mendidik dan menyebarkan ilmu
·
Menghindari ketidak ikhlasan
·
Mempergunakan metode yang mudah dipahami anak
·
Memperhatikan kemampuan anak didik
·
Tidak memunculkan salah satu peserta
didik dan menafikan yang lain
·
Bersikap terbuka, lapang dada, arif dan
tawadhu’
·
Membantu memecahkan masalah-masalah anak
didik
·
Bila ada anak yang berhalangan hendaknya
mencari ihwalnya.
Kalau sebelumnya terlihat warna
tasawufnya, khususnya ketika membahas tentang tugas dan tanggung jawab seorang
pendidik. Namun kali ini gagasan-gagasan yang dilontarkan beliau berkaitan
dengan etika guru bersama murid menunjukkan keprofesionalnya dalam pendidikan.
Hal ini dapat dilihat dari rangkuman gagasan yang dilontarkannya tentang
kompetensi seorang pendidik, yang utamanya kompetensi profesional.
Hasyim Asy’ari sangat menganjurkan agar seorang pendidik atau guru
perlu memiliki kemampuan dalam mengembangkan metode dan memberi motivasi serta
latihan-latihan yang bersifat membantu murid-muridnya memahami pelajaran.
Selain itu, guru juga harus memahami murid-muridnya secara psikologi, mampu
memahami muridnya secara individual dan memecahkan persoalan yang dihadapi
murid, mengarahkan murid pada minat yang lebih dicendrungi, serta guru harus
bersikap arif.
Jelas pada saat Hasyim Asy’ari melontarkan pemikiran ini, ilmu
pendidikan maupun ilmu psikologi pendidikan yang sekarang beredar dan dikaji
secara luas belum tersebar, apalagi di kalangan pesantren. Sehingga
ke-genuin-an pemikiran beliau patut untuk dikembangkan selaras dengan kemajuan
dunia pendidikan.
d. Etika Terhadap Buku, Alat Pelajaran dan Hal-hal Lain Yang Berkaitan Dengannya.
Satu hal yang menarik dan terlihat beda dengan materi-materi yang
biasa disampaikan dalam ilmu pendidikan umumnya, adalah etika terhadap buku dan
alat-alat pendidikan. Kalaupun ada etika untuk itu, namun biasanya hanya
bersifat kasuistik dan seringkali tidak tertulis, dan seringkali juga hanya
dianggap sebagai aturan yang umum berlaku dan cukup diketahui oleh
masing-masing individu. Akan tetapi bagi Hasyim Asy’ari memandang bahwa etika
tersebut penting dan perlu diperhatikan.
Di antara etika tersebut adalah:
·
Menganjurkan untuk mengusahakan agar
memiliki buku
·
Merelakan dan mengijinkan bila ada kawan
meminjam buku pelajaran, sebaliknya bagi peminjam menjaga barang pinjamannya
·
Memeriksa dahulu bila membeli dan
meminjamnya
·
Bila menyalin buku syari’ah hendaknya
bersuci dan mengawalnya dengan basmalah, sedangkan bila ilmu retorika atau
semacamnya, maka mulailah dengan hamdalah dan shalawat Nabi.
Kembali tampak kejelian dan ketelitian beliau dalam melihat
permasalahan dan seluk beluk proses belajar mengajar. Etika khusus yang
diterapkan untuk mengawali suatu proses belajar adalah etika terhadap buku yang
dijadikan sumber rujukan, apalagi kitab-kitab yang digunakan adalah kitab
“kuning” yang mempunyai keistimewaan atau kelebihan tersendiri. Agaknya beliau memakai
dasar epistemologis, ilmu adalah Nur Allah, maka bila hendak mempelajarinya
orang harus beretika, bersih dan sucikan jiwa. Dengan demikian ilmu yang
dipelajari diharapkan bermanfaat dan membawa berkah.
Pemikiran seperti yang dituangkan oleh Hasyim Asy’ari itu patut
untuk menjadi perhatian pada masa sekarang ini, apakah itu kitab “kuning” atau
tidak, misalnya kitab “kuning” yang sudah diterjemahkan, atau buku-buku
sekarang yang dianggap sebagai barang biasa, kaprah dan ada di mana-mana. Namun
untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat dalam belajar etika semacam di atas
perlu diterapkan dan mendapat perhatian.
Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani.
Demikian sebagian dari pemikiran mengenai pendidikan yang dikemukan oleh Hasyim Asy’ari. Kelihatannya pemikiran tentang pendidikan ini sejalan dengan apa yang sebelumnya telah dikemukakan oleh Imam Ghazali, misalnya saja, Hasyim Asy’ari mengemukakan bahwa tujuan utama pendidikan itu adalah mengamalkannya, dengan maksud agar ilmu yang dimiliki menghasilkan manfaat sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak. Imam Ghazali juga mengemukakan bahwa pendidikan pada prosesnya haruslah mengacu kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani.
BAB V
SISTEM
PENDIDIKAN PESANTREN TEBUIRENG
A. Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng
menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran
tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan
bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya
berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa
pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa
Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun
ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi.
Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena
seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama
Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa
Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai
Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan
Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan
Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk
mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat,
namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau
terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah bosan
mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk
memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri.
Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu
meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai
Hasyim akhirnya membolehkan.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari
(4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada
tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari).
Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber,
guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan,
dan menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.
Kiai Hasyim
terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan secara ketat terhadap
sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar
dalam hadis dan ia sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi
ketarekatan di pulau Jawa, yang nilai-nilainya telah menyimpang dari kebenaran
ajaran Islam.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.
Menurut hasyim Asy’ari, ia tetap mempertahankan ajaran-ajaran mazhab untuk menafsirkan al-Qur’an dan hadis dan pentingnya praktek tarikat.
BAB VI
RELEVANSI
PEMIKIRAN KH.HASYIM ASY’ARI DENGAN PENDIDIKAN SEKARANG
Relevansi pemikiran K. H. Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan
sekarang nampak pada munculnya berbagai lembaga yang dinaungi panji-panji islam
atau lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren. Pesantren sampai sekarang
masih menjadi satu-satunya lembaga yang diharapkan mampu melahirkan sosok ulama
yang berkualitas, dalam arti mendalam pengetahuan agamanya, agung moralitasnya
dan besar dedikasi sosialnya. Walaupun banyak corak dan warna profesi santri
setelah belajar dari pesantren, namun figur kiai masih dianggap sebagai bentuk
paling ideal, apalagi ditengah krisis ulama sekarang ini.
KH. Ilyas Rukyat (al-Maghfurlah) mengatakan, munculnya figur santri sebagai
seorang ulama masih menjadi harapan besar pesantren. Label kiai tidak bisa
diberikan oleh pesantren, tapi oleh masyarakat setelah melihat ilmu, moral, dan
perjuangannya ditengah masyarakat. Santri tersebut mampu menyampaikan
gagasan-gagasan besar dengan bahasa sederhana yang bisa dipahami dan
dilaksanakan masyarakat luas.
Memang harus diakui, saat ini, alumni pesantren yang mampu muncul
sebagai seorang kiai berkualitas baik dalam ilmu, moral, dan dedikasi sosialnya
sedikit jumlahnya. Modernisasi pesantren mempengaruhi visi seorang santri dalam
melihat masa depannya. Banyak dari mereka yang berkeinginan menjadi seorang
birokrat, kaum professional, intelektual, dan wirausahawan. Ragam profesi yang
mereka sandang ini menunjukkan elastisitas dan fleksibelitas pesantren dalam
membentuk generasi masa depan bangsa. Namun, fenomena kelangkaan ulama menjadi
masalah serius yang menarik diperbincangkan. Identitas pesantren sebagai
lembaga tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama) dipertanyakan banyak pihak.
Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh, semangat santri dalam mengkaji dan mengembangkan
ilmu sekarang jauh dibanding santri zaman dulu. Sehingga pesantren sekarang
semakin sulit melahirkan ulama besar. Menurutnya, figur santri yang mendalam
pemahaman aqidah dan syari’ah masih menjadi figur ideal ditengah goncangan
pemikiran keislaman yang passifsekarangini. Disinilah tantangan besar
pesantren, bagaimana memadukan visi melahirkan seorang kiai yang berkualitas di
satu sisi dan mengakomodir modernisasi tanpa kehilangan identitasnya sebagai
lembaga tafaqquh fiddin disisi yang lain.
Modernisasi kehidupan yang menyentuh semua aspek kehidupan akibat
revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi meniscayakan semua pihak untuk
meresponnya secara aktif dan kontekstual. Masalah-masalah kontemporer yang
datang silih berganti menuntut partisipasi aktif pesantren untuk ikut
memberikan kontribusi maksimal agar mampu memandu gerak dinamika sejarah dengan
nilai-nilai sucinya. Seorang kiai atau santri dituntut untuk aktif mengikuti
perkembangan informasi dan melakukan revitalisasi tradisi intelektualnya untuk
merumuskan jawaban-jawaban sederhana yang aplikatif bagi aneka macam problem
kontemporer tersebut. Disinilah letak relevansi dan aktualitas pesantren
ditengah moderasi kehidupan.
Kalau pesantren tidak mampu merespons masalah kontemporer dengan
khazanah intelektualnya, maka krisis keilmuan pesantren akan berimbas pada
krisis identitas santri dalam menatap masa depannya. Krisis identitas ini akan
menurunkan kepercayaan diri santri dalam mengarungi masa depannya. Efeknya,
semangat santri dalam mengkaji khazanah intelektual dan wacana kontemporer
sebagai modal aktualisasi diri ditengah kehidupan sosial menjadi rendah.
Inilah masalah serius yang harus segera ditanggulangi. Karena
kebutuhan akan lahirnya ulama masa depan yang berkualitas sudah sangat mendesak
supaya kehidupan dunia modern tidak berjalan tanpa kontrol dan over action.
Akhirnya, kita berharap pesantren mampu menjawab kritik pedas selama ini
tentang kelangkaan ulama yang berkualitas tinggi, bukan sekedar ulama biasa. Yang
perlu diyakini, pesantren mampu melakukan tugas sucinya ini dengan kerja keras
menuju keridloan Allah Swt.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang BIOGRAFI
KH. HASYIM ASY’ARI yang kami sususn ini , semoga bermanfaat dan berguna bagi
kita semua dalam mempelajari serta untuk menambah pengetahuan. Apabila ada
kekurangan maupun kesalahan dalam penyampaian makalah ini, kami selaku penulis
mohon kritik dan saran yang membangun agar tidak terulang lagi kesalahan di
kemudian hari dan juga kami selaku penulis minta dibukakan pintu maaf yang
sebesar-besarnya atas kekurangan dan kesalahan dalam penyampaiannya, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan kesalahan hanyalah milik manusia itu
sendiri.
PEMIKIRAN KEPENDIDIKAN KH. HASYIM ASY’ARI
4/
5
Oleh
Redaksi