ANALISIS HUKUM KASUS PENGGUSURAN TERHADAP WARGA DI JALAN LOSARI METRO MAKASSAR DEPAN RUMAH SAKIT SILOAM
Pada prinsipnya, tanah
merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenwable). Akan
tetapi seiring dengan pertumbuhan penduduk yang sedemikian pesat dan dibarengi
dengan pemanfaatan lahan untuk kepentingan industri, perumahan dan lain
sebagainya. Maka, tanah yang diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat semakin
mengalami penyempitan, nilai tanah perlahan merangkak naik sementara Masyarakat
yang di bawah garis kemiskinan semakin susah mengakses sumber kehidupan mereka
yang mengakibatkan, rakyat yang dahulunya merupakan tuan atas tanahnya sendiri
menjadi budak di atas tanahnya sendiri. Sehingga, hal ini memaksa mereka untuk
berpindah tempat mencari tanah – tanah lainnya yang belum bertuan.
Bagi para penduduk di daerah pesisir, Tanah merupakan kebutuhan vital hidup manusia. Di atas
tanah manusia dapat beraktifitas untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Di atas tanahlah manusia membangun rumah untuk dapat berlindung dari segala
macam bahaya serangan cuaca dan gejala alam lainnya serta tempat untuk
berinteraksi dengan anak dan keturunannya. Sederhananya, tanah merupakan sumber
kehidupan manusia serta mempertahankan hidup dan melanjutkan generasi. Jadi
dapat dikatakan kalo hidup dan matinya ditentukan oleh tanah yang dimilikinya.
Secara kultural, tanah memiliki hubungan batin yang tidak bisa terpisahkan
dengan manusianya. Khusus dalam adat masyarakat bugis-makassar, tanah merupakan
hak dasar yang harus dipertahankan mati – matian karena, disitulah kita bisa
makan, minum dan berlindung dari marabahaya. Hal inilah yang menjadi dasar
philosofis sehingga, hak atas tanah merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia
yang menjadi tanggung jawab pemerintah selaku pemegang mandat kekuasaan Negara.
Bagi
penduduk di daerah
pesisir, fenomena alam yang biasa terjadi dengan munculnya daratan –
daratan
baru sebagai hasil dari proses sedimentasi secara terus menerus akibat
erosi
dari daerah dataran tinggi yang terdorong ombak ke tepi pantai secara
terus
menerus sehingga, timbul membentuk daratan baru. Kemunculan daratan baru
ini
merupakan berkah bagi mereka yang di pesisir, namun disisi lain juga
merupakan
petaka baru bagi mereka karena, atas dalih sesat asas domein verklaring
(tanah
– tanah yang tidak bisa dibuktikan, akan diambil alih oleh Negara)
maka, Negara dengan bebas dan serakah mengklaim penguasaan langsung
atas tanah
tersebut. Apalagi tanah yang timbul tersebut berada pada lokasi
strategis untuk
dijadikan lahan privatisasi oleh Negara. Tindakan Negara seperti ini
dapat
dikatakan sebagai tindakan yang tidak menghargai bahkan memperkosa hak –
hak
rakyat atas tanah yang sudah turun temurun melekat, akan tetapi karena
tidak
bisa dibuktikan eigendomnya, maka dianggap domein atau milik negara.
1.1.Sekilas tentang tanah timbul
Tanah
timbul yang didalam bahasa Inggris disebut deltaber atau channelbar,di
dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah aanslibbing, sedangkan
di dalam bahasa Indonesia biasanya disebut dengan tanah tumbuh atau tanah
timbul
Mengenai keberadaan tanah
timbul di wilayah pesisir pantai Secara teori menurut Sosdarsono dan
Tominaga (1985:27) terjadinya Tanah Timbul dikarenakan sungai mengalirkan air
bersama-sama sedimen yang terdapat aliran air tersebut. Sehingga, tanah Tumbuh
yang terbentuk di tepi pantai karena, lumpur-lumpur yang dibawah arus sungai
menuju laut dihempaskan kembali ke pantai oleh ombak air laut. Kemudian lumpur
tersebut mengendap di pantai.
Dalam hal penguasaan dan
pemilikan tanah timbul dibutuhkan penguasaan
fisik yang kongkrit dan adanya intensitas de facto penggunaan atau
penggarapan manusia atas tanah tersebut. Semakin intens
penggarapan, maka semakin utuh pula hubungan antara manusia dengan
tanahnya, sehingga semakin kukuh pula penguasaan atas tanah
tersebut.
Namun, Fenomena konflik antara warga dengan pemerintah daerah yang
notabene sebagai kaki tangan Negara atas
tanah timbul, bukan lagi hal yang baru. Khususnya bagi penduduk yang tinggal di
daerah pesisir. Namun, Pemicu konflik ini bukan berarti tidak adanya kepastian
hukum, akan tetapi penyelenggara Negaralah yang tidak punya itikad baik dalam
mengawal pembaharuan di sector agraria di bawah payung UUPA. Penyelanggara
Negara terkesan tidak mau ambil bagian dalam agenda tersebut dengan kata lain
tidak mau pusing dengan urusan rakyat kecil. Karena, kuatnya pengaruh modal
dalam proses penyelanggaraan pemerintahan.
Salah satu contoh kasus yang baru saja terjadi adalah perampasan paksa
yang menimpa warga di jalan losari metro Makassar depan rumah sakit siloam,
kelurahan maccini sombala, kecamatan tamalate, kota Makassar. Tanah seluas ± 10
ha yang di dalamnya dihuni secara aktif oleh ± 43 kepala keluarga secara turun
temurun selam 37 tahun, diambil alih oleh pemerintah provinsi melalui upaya
paksa, teror dan intimadasi sehingga, warga tidak hanya kehilangan tanah, akan
tetapi juga kehilangan rumah dan pekerjaan dan parahnya mereka ditelantarkan
oleh pemerintah provinsi di sekitar gedung
Celebes convention center (CCC) yang tidak jauh dari lokasi tanah
mereka, sebagian warga ada yang mengungsi ke rumah keluarga mereka.
1.2.Sejarah penguasaan lahan oleh warga
Pada awalnya, warga telah tinggal menetap di Jl. losari metro Makassar
depan rumah sakit siloam, kel. Maccini Sombala, Kec. Tamalate, Kota Makassar.
Namun, luas kawasan tersebut belum seluas yang ada saat ini. Dg. Bollo
(perempuan) merupakan salah satu warga yang sudah tinggal dalam kawasan ini
sejak tahun tahun 1977. Selang beberapa tahun, muncul tanah timbul di sebelah
utara kawasan delta mercusuar akibat endapan tanah. Tanah timbul ini kemudian
semakin luas dan akhirnya bersambung dengan kawasan di Tanjung Delta Mercusuar.
Di awal Tahun 1980, Dg. Bollo memutuskan untuk pindah di kawasan tanah
timbul (dibagian utara) bersama dengan dua anaknya. Dg. Bollo membangun rumah
dan tinggal menetap di lokasi tersebut. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai
nelayan pencari ikan, kerang-kerang, tiram, dll. Dengan demikian, dg. Bollo
bersama dua ankanya merupakan keluarga yang pertama tinggal di kawasan tanah
timbul tersebut (hal ini telah diakui oleh seluruh warga di kawasan tersebut).
Selang beberapa tahun, warga lainnya juga sudah mulai masuk dan tinggal di
kawasan tersebut, namun warga tersebut masih merupakan keluarga dekat dari Dg.
Bollo.
Tanggal 9 Januari Tahun 1989, Dg. Bollo membuat pernyataan penguasaan
tanah negara yang terletak di Tanjung Delta Mercusuar RT.11. RW.06, kel.
Maccini Sombala, Kec. Tamalate dengan luas sekitar 10 Ha. Bahwa tanah tersebut digarap sejak tahun 1979
dan tetap diamnfaatkan dan dipelihara dengan baik. Surat pernyataan ini
diketahui oleh Lurah Maccini Sombala (H. Badollahi, Sm. Hk.) dengan
No.reg.136/596.6/KMS-1989. Adapun batas-batas tanah tersebut (sesuai isi surat
pernyataan) adalah sebagai berikut:
Sebelah
utara : laut
Sebelah
timur : laut
Sebelah
selatan : tanah garapan Sampara
Bani
Sebelah
barat : laut
Sepanjang tahun 1990 hingga tahun 2000, warga yang masuk dan tinggal
dilokasi tersebut terus mengalami pertambahan dengan total 43 Kepala Keluarga
(KK). Dari 43 KK, hanya 9 KK yang memiliki Kartu Keluarga Kota Makassar,
sedangkan yang lainnya memiliki Kartu Keluarga dari Kab. Maros. Hal ini
disebabkan oleh migrasi nelayan dari Kab. Maros yang mencari penghidupan
sebagai nelayan di Kota Makassar. Sehingga, sejak saat itu, mayoritas warga
yang tinggal di kawasan ini hidup dan tinggal dengan mata pencaharian sebagai
nelayan ikan, kerang-kerang, tiram, dll.
Tahun 2011, berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No:
2026/IV/tahun 2011 tentang penetapan kawasan Centre Point of Indonesia, kawasan
tanjung delta mercusuar diklaim sebagai bagian dari kawasan CoI. Secara
administratif, kawasan tersebut merupakan bagian dari wilayah admistratif kota
Makassar. Namun, kawasan tersebut menjadi salah satu bagian dalam kawasan
perencanaan Center Point of Indonesia (CPI) sebagai kawasan bisnis dan
pembangunan wisma negara. Proses pengerjaan proyek pembangunan tersebut
merupakan tanggung jawab PT. Yasmin Bumi Asri yang telah disepakati melalui MoU
dengan Pemprov Sulsel berdasarkan Perjanjian Kerjasama No: 252/VII/Pemprov/2013
dan No: 231/YBA/VII/2013 antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan PT. Yasmin Bumi Asri tentang reklamasi kawasan Centre Point of Indonesia
di Makassar.
- POSISI KASUS
v Bahwa penguasaan dan pemanfaatan lahan yang
dilakukan oleh warga dimulai sejak tahun 1979 oleh Dg. Bollo dan keluarganya.
Tanggal 9 Januari Tahun 1989, Dg. Bollo membuat pernyataan penguasaan tanah
negara yang terletak di Tanjung Delta Mercusuar RT.11. RW.06, kel. Maccini
Sombala, Kec. Tamalate dengan luas sekitar 10 Ha. Bahwa tanah tersebut digarap sejak tahun 1979
dan tetap diamnfaatkan dan dipelihara dengan baik. Surat pernyataan ini
diketahui oleh Lurah Maccini Sombala (H. Badollahi, Sm. Hk.) dengan
No.reg.136/596.6/KMS-1989 (surat asli telah hilang dan dilaporkan ke
Polrestabes Makassar dan telah memiliki Surat Keterangan Tanda Laporan
Kehilangan No:SKTLK/4520/B/IV/2013/POLDA SULSEL/RESTABES MKS). Surat pernyataan
tersebut diperkuat dengan Surat Keterangan tertanggal 19 September 2012 dari RT
RW yang didisposisi oleh Walikota Makassar kepada Camat Tamalate.
(Surat pernyataan dan keterangan terlampir)
v Bahwa untuk memastikan segala bentuk legalitas
hak atas tanah dan tindakan lainnya atas penguasaan lahan, Dg. Bollo telah
memberikan kuasa kepada pihak lain melalui perikatan notaris
................................................................................................................
v Tahun 2011, berdasarkan Keputusan Gubernur
Sulawesi Selatan No: 2026/IV/tahun 2011 tentang penetapan kawasan Centre Point
of Indonesia, kawasan tanjung delta mercusuar diklaim sebagai bagian dari
kawasan COI. Proses pengerjaan proyek pembangunan tersebut merupakan tanggung
jawab PT. Yasmin Bumi Asri yang telah disepakati melalui MoU dengan Pemprov
Sulsel berdasarkan Perjanjian Kerjasama No: 252/VII/Pemprov/2013 dan No:
231/YBA/VII/2013 antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan PT. Yasmin Bumi Asri tentang reklamasi
kawasan Centre Point of Indonesia di Makassar.
v Bahwa pada bulan Januari 2014, warga yang tinggal
di tanjung delta mercusuar mendapat surat kaleng (tidak jelas asalnya). Surat
ini hanya berisikan pemberitahuan bahwa tanah yang ditempati warga berada dalam
penguasaan dan kepemilikan pihak lain yang menjalankan proyek di lokasi
tersebut (PT. Yasmin Bumi Asri). Surat ini tidak dihiraukan warga karena
dianggap sebagai intimidasi semata dari pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab.
v Bahwa pada tanggal 26 Januari 2014, warga
mendapat surat peringatan dari Satuan Polisi Pamong Praja Pemprov Sulsel No:
644/23/I/Sat.Pol.PP. Surat ini dianggap kadaluarsa/terlambat oleh warga karena
surat tersebut tertanggal 23 Januari 2014
dan warga baru menerimanya tanggal 26 Januari 2014. Surat ini pada
intinya memberikan teguran kepada masyarakat/oknum yang memiliki bangunan tanpa
izin di dalam lokasi/kawasan Centre poin of Indonesia segera dibongkar. Surat
ini juga berisikan perintah yakni:
-
Memerintahkan
kepada Satuan Polisi Pamong Praja untuk memberikan Surat Peringatan kepada
masyarakat/oknum yang bermukim mendirikan banguna tanpa izin segera
meninggalkan lokasi dan membongkar bangunannya yang berada dalam dalam kawasan
COI.
-
Apabila
dalam waktu 15 hari yang telah ditentukan sesuai Standar Operasional Prosedur
aturan Satuan Polisi Pamong Praja yang berlaku, maka akan segera dilakukan
teguran pertama.
-
Bagi
pihak yang keberatan terhadap surat pernyataan ini dipersilahkan ke Satuan
Polisi Pamong Praja Prov. Sulsel jl. Urip Sumoharjo no.269 Makassar bidang
Penegakan Perundang-undangan daerah (PPNS) untuk menyampaikan keberatannya.
(Surat peringatan terlampir)
v Bahwa
pada tanggal 5 februari 2014, Dg. Bollo datang ke kantor Satpol PP Prov. Sulsel
menyampaikan hak kepemilikan garapan yang diketahui oleh Lurah Maccini Sombala
serta keterangan laporan kehilangan dari
kepolisian Kapolrestabes Makassar, Foto Copy KK, KTP, Surat pernyataan tanah
negara/garapan dan surat pernyataan pengawasan fisik bidang tanah (sporadik)
dan surat keterangan dari RT RW yang didisposisi oleh Walikota Makassar kepada
Camat Tamalate Makassar.
(Berdasarkan
keterangan permasalahn dalam Surat Teguran II)
v Bahwa
pada tanggal 10 Februari 2014, warga mendapatkan Surat teguran II dengan No.:
800/46/II/Sat.Pol.PP dari Satuan Polisi Pamong Praja Pemprov Sulsel. Surat ini
berisikan teguran kepada Dg. Bollo karena mendirikan rumah panggung permanen,
pagar permanen tapal batas dalam kawasan pembangunan COI, melakukan reklamasi
pantai dan penimbunan diduga tidak memiliki izin surat kepemilikan, serta membuat
empang dalam kawasan COI. Melalui surat ini, yang bersangkutan diminta untuk
segera melakukan koordinasi dengan Satpol PP Prov. Sulsel ataupun bidang
penegakan perundang-undangan atau PPNS terhitung 3 hari setelah diterimanya
surat teguran tersebut.
(Surat
Teguran II terlampir)
v Bahwa
warga mendapat undangan pertemuan (tanggal surat: 12 Februari 2014) dengan No.:
005/769/Pol.PP untuk membahas perihal pelaksanaan penertiban lokasi di dalam
kawasan COI (pembanguan Istana Kepresidenan) di Kota Makassar jalan losari
metro tanjung bunga yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 Febriari 2014. Maka
diminta kepada saudara yang berdomisili atau kuasa hukum yang membangun,
memagar, memasang papan pemilik di dalam lokasi tersebut untuk menghadiri
pertemuan bersama/panitia pelaksana pembangunan kawasan COI yang dilakasanakan
pada hari Senin, 17 Februari 2014, pukul 10.00 Wita di Ruang Rapat Satpol PP
Prov. Sulsel. Jumlah orang yang diundang sebanyak 21 orang termasuk Dg. Bollo
(berdasarkan lampiran undangan).
(undangan
dan lampiran undangan terlampir)
v Bahwa
Dg. Bollo bersama warga lainnya tidak mengetahui hasil pertemuan pada tanggal
17 Februari 2014. Karena pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh kuasa hukum Dg.
Bollo yakni Ansar Makkuasa dan hasil pertemuan tersebut tidak pernah
disampaikan oleh kuasa hukum yang bersangkutan. Selang beberapa hari pasca
pertemuan, Ansar Makkuasa mengundurkan diri sebagai kuasa hukum Dg. Bollo tanpa
alasan yang jelas.
v Bahwa
pada tanggal 10 Maret 2014, Pukul 08.00 Wita, aparat Satpol PP Pemprov Sulsel
bersama Aparat kepolisian (satuan Brimob) dan Aparat TNI (Koramil) datang ke
Lokasi dan membongkar seluruh rumah dan bangunan milik warga dengan menggunakan
alat berat. Beberapa warga juga meilhat oknum yang mengaku preman melakukan
intimidasi terhadap warga. Warga yang
berada di lokasi tidak sanggup mengahalangi proses pembongkaran rumah tersebut.
Bahkan salah seorang warga (perempuan) sempat mendapat ancaman dari salah
seorang oknum TNI. Warga tersebut diancam, kepalanya akan dipukul menggunakan
batu jika tetap memaksa masuk ke lokasi dan menghalangi proses pembongkaran.
Setelah proses pembongkaran rumah, seluruh warga hanya diarahkan untuk membawa
barang-barang mereka yang tersisi dan tinggal sementara di plataran salah satu
gedung CCC dan selanjutnya akan dipindahkan ke wisma Mattiro Baji’ (Daya’).
Warga terpaksa bertahan dan tinggal di plataran gedung meski dengan peralatan
seadanya. Salah seorang warga yang digusur merupakan orang tua yang sudah
cacat/lumpuh dan terpaksa harus ikut tinggal diplataran tersebut. Sebagian lagi
adalah perempuan dan anak-anak juga terpaksa harus memilih menetap ditempat
tersebut.
v Bahwa
dari surat peringatan dan teguran dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi
Sulsel diketahui pertimbangan dan dasar tindakan pembongkaran rumah dan
bangunan milik warga, yakni:
§ Pertimbangan:
1. Surat
ijin lokasi reklamasi kawasan Centre Point of Indonesia No: 644/6272/Tarkim dan
Izin pelaksanaan reklamasi No.: 644/6273/Tarkim.
2. Perjanjian
Kerjasama No: 252/VII/Pemprov/2013 dan No: 231/YBA/VII/2013 antara Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan dengan PT.
Yasmin Bumi Asri tentang reklamasi
kawasan Centre Point of Indonesia di Makassar.
3. Rapat
Koordinasi tanggal 16 Januari 2014 di ruang kerja Bapak Sekda Prov. Sulsel
tentang rencana penertiban bangunan tanpa Izin dalam lokasi COI
§ Dasar:
1. UU.
No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
2. UU
No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
3. PP
No.15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
4. Peraturan
Presiden No.55 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan
Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar.
5. Peraturan
Presiden No.122 tahun 2012 tentang reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil.
6. PP
No.6 tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
7. PP
No.54 tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong
Praja.
8. Perda
Prov. Sulawesi Selatan No.9 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Sulawesi Selatan.
9. Perda
No.2 tahun 2013 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
10.
Peraturan Gubernur No. 55 tahun
2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Perda dan Pergub Sulawesi Selatan.
11.
Keputusan Gubernur Sulawesi
Selatan No: 2026/IV/tahun 2011 tentang penetapan kawasan Centre Point of
Indonesia,
v Bahwa
dari peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Maret 2014 telah menimbulkan dampak
dan kerugian yang besar bagi masyarakat. Sekitar 43 KK telah kehilangan rumah
tempat tinggal dan bangunan lainnya karena semua banguan tersebut telah
dirobohkan. Ratusan warga sampai saat ini menjadi hidup terlantar tanpa tempat
tinggal dan pekerjaan yang layak untuk penghidupannya. Ironisnya, sebagian
besar warga merupakan perempuan dan anak-anak dan saat ini hanya tinggal
sementara di plataran Gedung CCC dengan perlengakpan seadanya. Selain itu,
muncul sengketa hak atas pengeloaan kawasan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan dengan warga yang telah
menguasai dan mengelola lokasi tersebut selama puluhan. Dan sampai saat ini,
pemerintah belum memberikan perhatian yang serius bagi warga yang menjadi
korban penggusuran.
- PARA PIHAK YANG TERKAIT
a.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
b.
PT. Yasmin
Bumi Asri berdasarkan kesepakatan kerjasama pembanguan COI Makassar.
c.
Satuan Polisi Pamong Praja Propinsi Sulawesi
Selatan
d.
Aparat
Kepolisian (satuan Brimob), dan
e.
aparat TNI
(Koramil)
- INSTRUMEN HUKUM TERKAIT
-
UUD 1945 ;
-
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria;
-
Peraturan pemerintah
No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
-
UU No. 39 tahun 1999
tentang hak asasi manusia
-
PP No. 16 TAHUN 2004 tentang Penatagunaan Tanah
-
UU No. 11 tahun 2005
tentang ratifikasi covenan hak EKOSOB
-
UU No. 27 tahun 2007
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil
-
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122
Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
-
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia Nomor 17/permen-kp/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau kecil
-
peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang berlaku saat itu.
- ANALISIS FAKTA
Berdasarakan
fakta sejarah penguasaan lahan dan upaya perampasan hak oleh pemerintah
provinsi Sulawesi selatan, maka dapat disimpulkan bahwa :
-
Warga setempat sudah menguasai tanah tersebut
selama 37 tahun secara fisik dan 35 tahun secara fisik dilengkapi surat hak
garap dari pejabat setempat
-
Telah terjadi upaya paksa baik secara terselubung
maupun terang – terangan dalam melakukan perampasan hak – hak warga
-
Secara nyata, Pemerintah propinsi Sulawesi
selatan telah memutus mata rantai sumber kehidupan warga sehingga, sama saja
membunuh warga secara perlahan.
-
Pemerintah provinsi selawesi selatan telah melakukan
penelantaran warganya sendiri
- ANALISIS YURIDIS
6.1. TENTANG HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH,
TERMASUK TANAH TIMBUL
Berkenaan dengan
munculnya tanah timbul di daerah pesisir yang dikenal dengan
istilah tanah tak bertuan (aanslibbing), sampai saat ini belum
banyak peraturan – perundang – undangan yang mengatur secara eksplisit dalam
bentuk tertulis, tetapi dapat disimpulkan dari ketentuan :
Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (sebelum Amandemen)
dinyatakan bahwa :
Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
Selanjutnya ketentuan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 tersebut di atas, dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa ketentuan
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, antara lain :
·
Pasal 2, yang menyatakan bahwa :
(1)
Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat;
(2)
Hak menguasai dari Negara termaksud dalam
ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:
a.
mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi,
air dan ruang angkasa tersebut;
b.
menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa;
c.
menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3)
Wewenang
yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;
·
Kemudian
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), menyatakan bahwa :
(1)
Hubungan
hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa
serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur,
agar tercapai tujuan yang disebut dalam Pasal 2 ayat 3 dan dicegah
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas;
(2)
Perbedaan
dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin
perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
·
Lebih
lanjut Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), mengatur bahwa :
(1). Pemerintah berusaha
agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga
meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ayat 3 serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup
yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya;
(2). Pemerintah
mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi
dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta;
·
Lalu Pasal
15, menyatakan bahwa :
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta
mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau
instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan
memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Secara explisit, tanah timbul
diterangkan dalam pasal 12 PP No. 16 TAHUN 2004 tentang Penatagunaan Tanah, yang menyatakan :
“Tanah yang berasal dari
tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut,
rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara.”
Namun, dapat kita cermati dalam Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 menjatuhkan putusan dalam
perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. dimana cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak
harus dikuasai oleh negara dalam artian diatur dan diselenggarakan
oleh pihak-pihak yang diberi wewenang oleh Negara dan bertindak
untuk dan atas nama negara berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku. Dalam tatanan peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia
pihak-pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama Negara adalah
instansi-instansi pemerintahan dalam hal kegiatan yang berhubungan dengan
pemerintahan dan politik, sedangkan dalam hal kegiatan usaha, instansi
pemerintah yang bukan merupakan badan usahapun tidak dapat melakukan
tindakan yang bersifat bisnis untuk dan atas nama negara sesuai peraturan
dan perundangan yang berlaku.
Lebih
lanjut dijelaskan dalam putusan MK, Penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945
menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan pengujian Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2002. Pasal 33 UUD 1945 mengandung
pengertian yang lebih tinggi daripada pemilikan dalam konsepsi hukum
perdata. Konsepsi penguasaan Negara merupakan konsepsi hukum publik
yang berkaitan dengan kedaulatan public.
Bahwa
mengenai konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum putusan
Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang Minyak dan Gas,Undang-Undang
Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber Daya Alam, menafsirkan
mengenai “Hak Menguasai Negara/HMN” bukan dalam makna negara
memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid),
melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad),
melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan
(toezichthoudendaad);
Dengan demikian, makna
penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap sumber daya alam,
meskipun tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta
berperan asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana disebut
di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah
memang tidak atau belum mampu melaksanakannya;
Bahwa
meskipun kelima peranan negara/pemerintah tersebut di atas telah terpenuhi,
harus tetap diingat bahwa tujuan dari penguasaan negara adalah sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Sehingga harus dapat dipastikan/dijamin bahwa lahirnya
suatu undang-undang yang bersinggungan dengan kewajiban negara untuk
mensejahterakan rakyat terkait dengan cabang-cabang produksi maupun
sumber daya alam tidak menimbulkan kesalahan fatal di dalam
pelaksanaannya.
6.2.Tentang hak kepemilikan atas tanah oleh
masyarakat
Sesuai
ketentuan pada pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 setelah amandemen, yang menyatakan
bahwa :
“Setiap
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang wenang oleh siapa
pun”
Sebagaimana
telah dipaparkan dalam fakta sejarah tanah yang awalnya telah dikuasai dan
digarap secara turun temurun oleh masyarakat/nelayan setempat di jalan delta
tanjung mercisuar, kelurahan maccini sombala, kecamatan tamalate, kota
Makassar. Sejak tahun 1977 warga yang pertama menghuni tanah tersebut dan tahun
1979 telah mendapat izin dari pemerintah
setempat untuk menggarap. Maka sehubungan dengan itu, penting terlebih dahulu
menganalisis secara hukum kepemilikan tanah oleh masyarakat pesisir atas objek lahan
tersebut.
Yang
menarik dari fakta sejarah di atas adalah penyimpangan Negara baik dalam hal
pemberian maupun pengakuan hak atas tanah yang sudah dikuasai secara fisik dan
turun temurun oleh warga setempat. Dalam pemberian hak atas tanah yang menyimpang khususnya dalam proses
pendaftaran tanah karena, seringkali tidak sesuai dengan fakta hukum. Dalam
pendaftaran tanah terdapat 2 (dua) jenis cara dalam pembuktian hak, yaitu
pemberian hak atas tanah dan konversi hak-hak lama. Dalam pemberian hak atas tanah
yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah tanah negara yang dimohonkan
haknya. Dalam konversi terdapat tiga tingkatan pendaftaran, yang pertama adalah
konversi hak-hak lama dengan alat bukti yang lengkap, yang dua adalah penegasan
hak dengan alat bukti yang kurang lengkap dan yang ketiga adalah pengakuan hak
untuk objek yang tidak memiliki alat bukti sama sekali.
Dari penjelasan diatas sudah dapat ditemukan
dimana letak permasalahannya. Dimana dalam menguasai tanah secara turun temurun
seringkali pemilik tanah tidak mempunyai alat bukti sama sekali atau setidaknya
hanya memiliki surat izin menggarap dari pejabat setempat, dengan demikian
alternatif pendaftaran tanah yang dapat dipakai adalah pengakuan hak.
Dalam Hal ini, penentuan hak yang juga termasuk
tanah timbul secara yuridis telah diperkuat oleh ketentuan pada pasal 24 ayat
(2) PP No. 24 tahun 1997 ;
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia
secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang
tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara
berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan
syarat :
a. penguasaan tersebut
dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah,
serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau
desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.
6.3.Tentang
-
Surat
izin lokasi reklamasi kawasan centre poin of Indonesia Nomor : 644/6272/Tarkim
dan izin pelaksanaan reklamasi Nomor : 644/6273/Tarkim
-
Perjanjian
kerjasama NOMOR :252/VIII/PEMPROV/2013 dan Nomor : 231/YBA/VII/2013 antara
pemerintah provinsi Sulawesi selatan dengan PT. Yasmin Bumi Asri tentang
reklamasi kawasan centre poin of Indonesia di Makassar
Reklamasi
wilayah pesisir yang terus dilakukan pihak ketiga PT. Yasmin Bumi Asri di jalan
losari metro Makassar depan rumah sakit siloam yang selama ini sangat
bertentangan dengan asas kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat khususnya,
masyarakat setempat selaku salah satu pihak pemangku kepentingan umum.
Dalam UU
No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil
menyatakan ;
·
Pasal 1 angka (1) :
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
·
Pasal 1 angka (30) :
Pemangku Kepentingan Utama adalah para
pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan
langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha
pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir
·
Pasal 4 huruf c dan d :
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil dilaksanakan dengan tujuan:
c. memperkuat peran serta
masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam
pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan,
keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai
sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
·
Pasal 34
(1) Reklamasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat
dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek
teknis, lingkungan, dan social ekonomi.
(2) Pelaksanaan Reklamasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan:
a.keberlanjutan kehidupan dan penghidupan
Masyarakat;
b.keseimbangan antara
kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil; serta
Lebih
lanjut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi
Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil :
·
Pasal 26
Pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan
memperhatikan:
a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan
masyarakat;
b.keseimbangan antara
kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir
dan pulaupulau kecil; serta
c.persyaratan teknis pengambilan,
pengerukan, dan penimbunan material.
·
Pasal 27
Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan dengan:
b. mempertahankan mata
pencaharian penduduk sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan
perikanan lainnya;
c. memberikan
kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang terkena dampak
reklamasi;
d. merelokasi permukiman
bagi masyarakat yang berada pada lokasi reklamasi; dan/atau
e.
memberdayakan masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi.
kemudian
lebih spesifik dijelaskan dalam peraturan menteri kelautan dan perikanan
republik indonesia nomor 17/permen-kp/2013 tentang perizinan reklamasi di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
·
Pasal
32
(1) Pemegang izin pelaksanaan reklamasi mengupayakan untuk mempertahankan mata pencaharian
penduduk sebagai nelayan, pembudidaya
ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya.
(2) Mata pencaharian penduduk sebagai nelayan diupayakan
melalui penyediaan:
a.
sarana dan prasarana penangkapan ikan; dan/atau
b.
mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.
(3) Mata pencaharian penduduk sebagai pembudidaya ikan
diupayakan melalui penyediaan:
a.
lokasi dan prasarana untuk budidaya ikan; dan/atau
b.
mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.
(4) Mata pencaharian penduduk untuk usaha kelautan dan
perikanan lainnya diupayakan
melalui penyediaan:
a. sarana dan prasarana usaha kelautan dan perikanan
lainnya; dan/atau
b.
mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.
·
Pasal
33 Kompensasi dan anti kerugian
(1) Pemegang izin pelaksanaan reklamasi wajib memberikan
kompensasi bagi masyarakat
yang terkena dampak kegiatan reklamasi.
(2) Kompensasi
diberikan dalam bentuk:
a.
ganti kerugian dalam bentuk uang tunai; dan/atau
(3) Ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a diberikan kepada
masyarakat yang kehilangan:
a. tanah dan bangunan dan tidak bersedia untuk direlokasi;
dan/atau
b. mata pencaharian selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1) yang
berada di lokasi reklamasi.
·
Pasal
34 relokasi dan permukiman
(1) Pemegang izin pelaksanaan reklamasi wajib melakukan
relokasi permukiman bagi
masyarakat yang terkena dampak kegiatan reklamasi.
(2) Relokasi permukiman bagi masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui penyediaan permukiman pengganti yang layak dan dilengkapi dengan sarana dan
prasarana.
(3) Pelaksanaan relokasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dengan
mengacu pada kerangka kebijakan permukiman kembali yang disusun oleh Pemerintah/pemerintah
daerah.
·
Pasal
36 tata cara pelaksanaan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat
(1) Pelaksanaan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan
masyarakat dilaksanakan dengan cara:
a. sosialisasi rencana pelaksanaan keberlanjutan kehidupan
dan penghidupan
masyarakat;
b. pendataan
masyarakat yang terkena dampak reklamasi;
c. penentuan cara mempertahankan mata
pencaharian;
d. penentuan jenis mata pencaharian alternatif;
e. penentuan nilai kompensasi;
f. penentuan relokasi permukiman; dan
g. penentuan cara pemberdayaan masyarakat.
Dengan
demikian, meskipun peraturan perundang – undangan yang ada tidak menafikan
kemungkinan perorangan atau swasta berperan asalkan semua mekanisme dan
prosedur sebagaimana disebut di atas masih tetap dipenuhi dan
sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah memang tidak atau belum
mampu melaksanakannya
Dan harus tetap diingat bahwa tujuan
dari semua itu adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sehingga harus dapat dipastikan/dijamin bahwa semua upaya
pemerintah maupun pemerintah daerah provinsi selawesi selatan tidak
bersinggungan dengan kewajiban negara untuk mensejahterakan
rakyat dan tidak menimbulkan pelanggaran HAK
ASASI MANUSIA DALAM PELAKSANAANNYA.
6.4.Perencanaan, Pelaksanaan reklamasi dan
Pelanggaran terhadap hak ekonomi social dan budaya
Upaya
relamasi dan penggusuran sewenang - wenang yang mengakibatkan hilangnya tempat
tinggal, mata pencaharian warga setempat untuk mempertahankan hidup di kawasan pesisir untuk pembangunan centre poin
of Indonesia, juga sangat dikutuk oleh UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi
manusia :
·
Pasal 9
(1)Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup
(2)Setiap orang berhak tentram, aman, damai,
bahagia, sejahtera lahir dan batin
·
Pasal pasal 36
(1) Setiap orang berhak mempunyai milik, baik
sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya,
keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum
(2) Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya
dengan sewenang – wenang dan secara melawan hukum
·
Pasal 34
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal
secara berkehidupan yang layak
Disisi lain, tindakan sewenang – wenang pemerintah
provinsi Sulawesi selatan, juga telah mengabaikan UU No. 11 tahun 2005
tentang KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA :
·
Pasal 1
(3) Semua bangsa dapat, demi kepentingan mereka
sendiri, secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi
kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan prinsip saling
menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan suatu bangsa dirampas
sumber-sumber hajat hidupnya.
- Kesimpulan
Sumber: http://aswanrass4.blogspot.com/
ANALISIS HUKUM KASUS PENGGUSURAN TERHADAP WARGA DI JALAN LOSARI METRO MAKASSAR DEPAN RUMAH SAKIT SILOAM
4/
5
Oleh
Redaksi