photo hhhhhhhhiii_zps9dd37855.jpeg" />  photo hhdrhhdhdrhdh_zps2794a59b.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />

Rabu, 18 Desember 2013

Anarkisme dan Islam Dalam Menyikapi Ketidakadilan Sosial




“Membangun arsitektur ketidakmungkinan”—Mempersenjatai Imajinasi #1.
SUBCHAOSZINE–Anarkisme, merupakan sebuah konsep pemikiran yang sering melekat pada siapapun yang berada dalam scene punk. Namun bukan definisi anarkisme bentukan media massa yang sedang saya bahas disini, namun definisi anarkisme yang diakui oleh para pemikir dan pencetusnya sendiri. Karena media massa sering mengartikan secara sempit, yaitu: kekerasan adalah anarki, anarki adalah kekerasan.
Menurut Rudolph Rocker dalam tulisannya yang berjudul “Anarkisme, Tujuannya”, anarkisme merupakan arus intelektual, dan filsafat yang menyokong permusnahan monopoli ekonomi kapitalis. Menurutnya, anarkisme bukanlah ide utopia hasil dari pemikiran imajinatif seseorang, tapi merupakan kerimpulan logika dari penelitian tentang kebobrokan sistem sosial yang ada saat ini.
Dalam versi lain, Arian 13, mantan editor 13 ‘zine pernah menuliskan tentang apa itu anarki dan anarkisme dalam zine buatannya itu. Dia mengutip definisi dalam kamus Webster tentang anarki, disitu dikatakan bahwa anarki adalah kekosongan pemerintahan, sebuah keadaan ketiadaan hukum atau kekacauan politik sehubungan dengan kekosongan pemerintahan. Dan disitu ditegaskan bahwa anarkisme bukanlah suatu ideologi, namun lebih berarti suatu pergerakan yang menentang hirarki. Yaitu suatu struktur dari pengorganisasian yang memiliki otoritas, yang mendasari bentuk penguasaan didalamnya.
Jadi singkatnya, ada satu hal yang jelas ditentang oleh anarkis. Yaitu HIRARKI.
Anarkis sangat membenci satu hal itu. Mereka menganggap bahwa keluruh ketidakadilan yang terjadi didunia ini bermuara pada satu kata itu: hirarki!. Titik. Sehingga seluruh pikiran, tenaga, waktu dan upaya mereka dipusatkan pada satu tujuan, yaitu untuk menghapuskan hirarki dimuka bumi ini.
Dalam Mempersenjatai Imajinasi #1 dikatakan,
“Kalau kamu suka sama sekolah, kamu bakalan cinta sama dunia kerja. Kekuasaan yang kejam, sudah disalahgunakan dengan absurd, penguasa yang sangat nikmatin kekuasaannya atas diri kamu direpresentasikan oleh guru dan dosen, dan itu semua nggak akan berhenti begitu kamu lulus. Kalau kamu pikir waktu itu kamu kehilangan kebebasan kamu, tunggu aja sampai kamu harus tunduk sama manajer, tuan tanah, pemilik properti, pengumpul pajak, pegawai pemerintah, petugas hukum, dan polisi…. Darimana dan gimana mereka semua bisa dapat kekuatan itu? Jawabnya hanya satu: hirarki.”
Dari tulisan tersebut sudah pasti bahwa anarkis menggambarkan kehidupan ini begitu buruk, mencekam, dan sangat-sangat merugi jika kita masih ada dalam kehidupan yang sarat dengan hirarki. Karena menurut Pam, sang editor zine ini, hirarki adalah sebuah sistem nilai dimana diri kita dinilai dari jumlah orang atau benda lain yang ada dibawah kontrol kita, dan tentang bagaimana kita harus nurut kepada orang yang ada diatas kita atau yang mengontrol kita.
Secara manusiawi kita memang sangat membenci setiap ketidakadilan. Sesuatu yang menindas dan zhalim terhadap sesama merupakan sesuatu yang memang menyalahi Sunnatullah (baca: ketentuan Allah Swt). Jika kita berbicara ketidakadilan, maka sudah bisa dipastikan itu merupakan musuh bersama. Saya sepakat. Dan saya yakin andapun demikian. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah memang anarkisme merupakan solusi yang tepat dalam menyikapi kondisi itu? Konsep “meniadakan hirarki” atau “melawan hirarki” ala anarkisme apakah bisa direalisasikan dikehidupan nyata? Lalu apakah setiap ada hirarki selalu ada ketidakadilan? Apakah jika keadilan dalam suatu masyarakat hirarkis itu bisa terlaksana akankah anarkisme masih relevan untuk diterapkan?
Sebelum membahas hal ini, saya ingin mengutip statemen-statemen yang diungkapkan para pemikir anarkis tentang cita-cita mereka dalam hal ini. Pam sendiri pernah menuliskan dalam artikelnya berjudul “Anti-hirarki = Anarki, Redefinisi Anarkisme sebagai Pendekatan Personal pada Hidup” seperti ini;
“Berhentilah mikir anarkisme sebagai ‘tatanan masyarakat’ yang lain, atau sebagai sistem sosial yang lain. Dari tempat kita berada, di dunia yang sangat penuh sama dominasi dan kontrol,susah bahkan kayaknya nggak akan mungkin untuk ngebayangin hidup tanpa pemerintahan sama sekali, tanpa hukum apapun atau pemerintahan manapun. Nggak heran kalo kemudian anarkisme jadi nggak pernah dianggap serius sebagai program sosial atau politis yang skalanya gede: nggak ada orang yang ngebayangin gimana dan bakalan seperti apa nantinya, atau nggak cara nerapinnya – bahkan juga mereka sendiri yang ngaku dirinya anarkis”.
Kalimat yang terungkap itu selain bentuk manifestasi sang editor zine itu tentang redefinisi yang sudah dia buat, sekaligus sebagai bentuk pengungkapan atas ketidakyakinan dia bahwa konsep anarkisme mampu menjadi solusi untuk problematika yang dihadapi di masyarakat. Mengapa dia pesimis anarkisme diterapkan disuatu masyarakat yang luas? Ternyata hal itu sendiri juga dirasakan oleh Rudolph Rocker sendiri. Dia berkata:
“Anarki dapat pula berarti sebuah lingkungan utopis yang terdiri dari individu-individu yang tidak memiliki pemerintahan dan menikmati kebebasan mutlak”.
Statemen-statemen tersebut merupakan sebuah pernyataan bahwa mewujudkan masyarakat tanpa hirarki adalah sekedar mimpi saja. Tidak akan pernah terwujud. Alias sangat-sangat tidak mungkin. Karena mereka sebenarnya mengerti bahwa adanya hirarki di kehidupan sosial merupakan suatu keniscayaan. Namun karena filsafat anarkisme harus jauh dari konsep ke-Tuhanan, maka tidak ada istilah “takdir” dan “Sunnatullah” dalam kamus mereka. Karena kalau sampai konsep takdir ini masuk dalam wilayah pemikiran ini sudah jelas hal itu akan menghambat bahkan sampai memberhentikan perjuangan mereka. Semua akan stop sampai disini. Dan semua ‘menyerah’ pada takdir.
Sesungguhnya, andaikata manusia mau beriman pada Al-Qur’an, seluruh jawaban bagi seluruh permasalahan hidup sudah tersedia solusinya. Terlebih masalah sosial kemasyarakatan. Sangat banyak ayat dan hadits yang memberikan solusi logis dan terbukti berhasil diterapkan dimasa lalu. Sudah pernah Allah Swt menyuguhkan model masyarakat yang adil didunia ini dalam sejarah Islam masa lalu, yaitu Madinah.
Selain itu, berbicara soal kata “adil”, seharusnya Islam lebih berhak untuk mendefinisikannya. Saya berpendapat demikian karena asal-usul kata “adil” tersebut berasal dari Islam yang memiliki makna khusus.  Dan itu hanya bisa dipahami dengan tepat jika dirunut menurutworldview Islam. “Adil” merupakan istilah yang khas yang terdapat dalam banyak sekali ayat dalam Al-Quran. Salah satu contoh saja dalam Surat An-Nahl:90 , Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl :90)
Prof. Hamka dalam tafsirnya yang tersohor, Al-Azhar, menjelaskan makna adil dalam ayat tersebut yakni “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim. Yang artinya memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga sendiri. Maka benang merahnya, menurut Hamka, selama keadilan itu masih ada di masyarakat, pergaulan hidup hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai.
Adil dalam Islam bukan “sama rata, sama rasa”. Menurut DR. Adian Husaini, konsep adil itu adalah konsep khas Islam, jadi seharusnya dipahami dalam perpektif worldview Islam pula. Jika ini dimaknai menurut worldview Barat, maka akan berubahlah maknanya. Seperti contohnya konsep keadilan atau kesetaraan gender menurut Barat. Konsep ini menggugat pandangan Islam yang mereka tuduh diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam hal aqiqoh, waris, imam shalat, dan lain sebagainya. Mengapa begitu? karena konsep keadilan yang Barat anut bukan pada konsep keadilan menurut worldview Islam. Dan semua itu sulit untuk dipahami jika sejak awal dalam hati seseorang memang tidak ada iman sedikitpun.
Seorang ulama Ikhwanul Muslimin, Sayyid Quthb, sudah pernah membahas tentang solusi Islam dalam menghadapi ketidakadilan sosial di masyarakat. Hal itu dia beberkan dalam tafsirnya yang terkenal, Fii Zhilalil Qur’an yang beliau tulis ketika bertahun-tahun dia dipenjara oleh pemerintah Mesir yang zhalim dan korup. Bahkan dalam bukunya berjudul Al-‘Adalah al-Ijtima‘iyyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), Sayyid Quthb tidak menafsirkan Islam sebagai sistem moralitas yang usang. Malah justru Islam adalah kekuatan sosial dan politik yang sangat aplikatif (konkret) direalitas nyata. Di sini Quthb membantah pemikiran Ali Abd al-Raziq dan Taha Hussein yang sekuler. Karena keduanya pernah menyatakan bahwa Islam dan politik itu tidak ada kecocokannya. Sayyid Quthb menyatakan bahwa tidak adanya alasan yang logis untuk memisahkan Islam dari urusan sosial kemasyarakatan dan politik.
Seorang Dosen UIN Bandung, Taufiq Rahman, juga pernah membahas ini dalam suatu tulisan khusus tentang Sayyid Quthb, keadilan sosial dan Islam sebagai solusi. Menurutnya, Quthb memberikan resep yang telah dijalani oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya, yaitu membentuk jama‘ah kecil yang berkomitmen kepada Islam dalam segala aspek kehidupannya, melakukan pemisahan emosional (‘uzla shu‘uriyya), kemudian membentuk generasi Qur‘ani, dan selanjutnya menyiapkan tatanan hukum sosial atau membina masyarakat. Semua itu dijelaskan Sayyid Quthb dalam karya fenomenalnya, Ma‘alim fi al-Tariq.
Taufiq Rahman juga menjelaskan dalam tulisannya tentang teori Sayyid Quthb tersebut:
“Pemikirannya tentang keadilan sosial dalam Islam hampir murni dari kritik. Ini karena Quthb menyajikan bahwa untuk sebuah himbauan moral, Islam pun mempunyai dasar-dasar etis tentang keadilan sosial. Bukannya kritik yang ada, bahkan peniruan atas atau penghampiran dengan teori Quthb yang kemudian bermunculan. Semua buku atau artikel yang ada tentang keadilan sosial dalam Islam adalah kurang lebih sama dengan apa yang ditulis Qutb. Hamid Algar menyebut bahwa setelah buku Sayyid Quthb ini (1949) muncul buku senada dari Suriah yaitu Ishtirakiyyat al-Islam (Sosialisme Islam) (1951) oleh Mustafa al-Siba‘i, Keadilan Sosial dalam Islam (1951) oleh Hamka dari Indonesia, dan Iqtisaduna (Ekonomi Kita) oleh Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr dari Iran.”
Solusi ini sudah terbukti berhasil diterapkan. Bukan hanya impian atau utopia belaka. Memperjuangkannya pun lebih memberikan harapan yang kuat dalam hati bahwa konsep ini akan terwujud dikemudian hari di dalam kehidupan bermasyarakat kita. Jadi kita sama dengan membangun arsitektur yang sangat memungkinkan untuk dibangun. Suatu keadilan sosial dalam masyarakat. Tanpa harus menafikan Sunnatullah adanya hirarki sosial didalam masyarakat itu. Agar perjuangan kita mewujudkan masyarakat yang lebih baik itu semakin jelas gambarannya. Bukan hanya diangan-angan seperti impian anarkis yang nanti sudah bisa dipastikan akan berhenti kelelahan karena upaya yang dilakukan telah menguras tenaga, pikiran, dana dan waktu. Padahal hasilnya sudah mereka akui sendiri, bahwa hal itu merupakan KETIDAKMUNGKINAN YANG PASTI.
Semoga tulisan ini menjadi alternatif pemikiran untuk memilih jalan hidup kalian masing-masing. Amin
Wallahu a’lam

Related Posts

Anarkisme dan Islam Dalam Menyikapi Ketidakadilan Sosial
4/ 5
Oleh

Berlangganan Melalui email

Jika Anda Menyukai Postingan Kami, Silahkan Subcribe Untuk Mendapatkan Updatenya Melalui Email.