“Membangun
arsitektur ketidakmungkinan”—Mempersenjatai
Imajinasi #1.
SUBCHAOSZINE–Anarkisme,
merupakan sebuah konsep pemikiran yang sering melekat pada siapapun yang berada
dalam scene punk. Namun bukan definisi anarkisme bentukan media massa yang
sedang saya bahas disini, namun definisi anarkisme yang diakui oleh para
pemikir dan pencetusnya sendiri. Karena media massa sering mengartikan
secara sempit, yaitu: kekerasan adalah anarki, anarki adalah kekerasan.
Menurut
Rudolph Rocker dalam tulisannya yang berjudul “Anarkisme, Tujuannya”, anarkisme
merupakan arus intelektual, dan filsafat yang menyokong permusnahan monopoli
ekonomi kapitalis. Menurutnya, anarkisme bukanlah ide utopia hasil dari
pemikiran imajinatif seseorang, tapi merupakan kerimpulan logika dari
penelitian tentang kebobrokan sistem sosial yang ada saat ini.
Dalam
versi lain, Arian 13, mantan editor 13 ‘zine pernah menuliskan tentang apa itu
anarki dan anarkisme dalam zine buatannya itu. Dia mengutip definisi dalam
kamus Webster tentang anarki, disitu dikatakan bahwa anarki adalah kekosongan
pemerintahan, sebuah keadaan ketiadaan hukum atau kekacauan politik sehubungan
dengan kekosongan pemerintahan. Dan disitu ditegaskan bahwa anarkisme bukanlah
suatu ideologi, namun lebih berarti suatu pergerakan yang menentang hirarki.
Yaitu suatu struktur dari pengorganisasian yang memiliki otoritas, yang
mendasari bentuk penguasaan didalamnya.
Jadi
singkatnya, ada satu hal yang jelas ditentang oleh anarkis. Yaitu HIRARKI.
Anarkis
sangat membenci satu hal itu. Mereka menganggap bahwa keluruh ketidakadilan
yang terjadi didunia ini bermuara pada satu kata itu: hirarki!. Titik. Sehingga
seluruh pikiran, tenaga, waktu dan upaya mereka dipusatkan pada satu tujuan,
yaitu untuk menghapuskan hirarki dimuka bumi ini.
Dalam
Mempersenjatai Imajinasi #1 dikatakan,
“Kalau
kamu suka sama sekolah, kamu bakalan cinta sama dunia kerja. Kekuasaan yang
kejam, sudah disalahgunakan dengan absurd, penguasa yang sangat nikmatin
kekuasaannya atas diri kamu direpresentasikan oleh guru dan dosen, dan itu
semua nggak akan berhenti begitu kamu lulus. Kalau kamu pikir waktu itu kamu
kehilangan kebebasan kamu, tunggu aja sampai kamu harus tunduk sama manajer,
tuan tanah, pemilik properti, pengumpul pajak, pegawai pemerintah, petugas
hukum, dan polisi…. Darimana dan gimana mereka semua bisa dapat kekuatan itu?
Jawabnya hanya satu: hirarki.”
Dari
tulisan tersebut sudah pasti bahwa anarkis menggambarkan kehidupan ini begitu
buruk, mencekam, dan sangat-sangat merugi jika kita masih ada dalam kehidupan
yang sarat dengan hirarki. Karena menurut Pam, sang editor zine ini, hirarki
adalah sebuah sistem nilai dimana diri kita dinilai dari jumlah orang atau benda
lain yang ada dibawah kontrol kita, dan tentang bagaimana kita harus nurut kepada
orang yang ada diatas kita atau yang mengontrol kita.
Secara
manusiawi kita memang sangat membenci setiap ketidakadilan. Sesuatu yang
menindas dan zhalim terhadap sesama merupakan sesuatu yang memang
menyalahi Sunnatullah (baca: ketentuan Allah Swt). Jika kita
berbicara ketidakadilan, maka sudah bisa dipastikan itu merupakan musuh
bersama. Saya sepakat. Dan saya yakin andapun demikian. Yang menjadi pertanyaan
adalah, apakah memang anarkisme merupakan solusi yang tepat dalam menyikapi
kondisi itu? Konsep “meniadakan hirarki” atau “melawan hirarki” ala anarkisme
apakah bisa direalisasikan dikehidupan nyata? Lalu apakah setiap ada hirarki
selalu ada ketidakadilan? Apakah jika keadilan dalam suatu masyarakat hirarkis
itu bisa terlaksana akankah anarkisme masih relevan untuk diterapkan?
Sebelum
membahas hal ini, saya ingin mengutip statemen-statemen yang diungkapkan para
pemikir anarkis tentang cita-cita mereka dalam hal ini. Pam sendiri pernah
menuliskan dalam artikelnya berjudul “Anti-hirarki = Anarki, Redefinisi
Anarkisme sebagai Pendekatan Personal pada Hidup” seperti ini;
“Berhentilah
mikir anarkisme sebagai ‘tatanan masyarakat’ yang lain, atau sebagai sistem
sosial yang lain. Dari tempat kita berada, di dunia yang sangat penuh sama
dominasi dan kontrol,susah bahkan kayaknya nggak akan mungkin untuk
ngebayangin hidup tanpa pemerintahan sama sekali, tanpa hukum apapun atau
pemerintahan manapun. Nggak heran kalo kemudian anarkisme jadi nggak pernah
dianggap serius sebagai program sosial atau politis yang skalanya gede: nggak
ada orang yang ngebayangin gimana dan bakalan seperti apa nantinya, atau nggak
cara nerapinnya – bahkan juga mereka sendiri yang ngaku dirinya anarkis”.
Kalimat
yang terungkap itu selain bentuk manifestasi sang editor zine itu tentang
redefinisi yang sudah dia buat, sekaligus sebagai bentuk pengungkapan atas
ketidakyakinan dia bahwa konsep anarkisme mampu menjadi solusi untuk
problematika yang dihadapi di masyarakat. Mengapa dia pesimis anarkisme
diterapkan disuatu masyarakat yang luas? Ternyata hal itu sendiri juga
dirasakan oleh Rudolph Rocker sendiri. Dia berkata:
“Anarki
dapat pula berarti sebuah lingkungan utopis yang terdiri dari
individu-individu yang tidak memiliki pemerintahan dan menikmati kebebasan
mutlak”.
Statemen-statemen
tersebut merupakan sebuah pernyataan bahwa mewujudkan masyarakat tanpa hirarki
adalah sekedar mimpi saja. Tidak akan pernah terwujud. Alias sangat-sangat
tidak mungkin. Karena mereka sebenarnya mengerti bahwa adanya hirarki di
kehidupan sosial merupakan suatu keniscayaan. Namun karena filsafat anarkisme
harus jauh dari konsep ke-Tuhanan, maka tidak ada istilah “takdir” dan
“Sunnatullah” dalam kamus mereka. Karena kalau sampai konsep takdir ini masuk
dalam wilayah pemikiran ini sudah jelas hal itu akan menghambat bahkan sampai
memberhentikan perjuangan mereka. Semua akan stop sampai disini. Dan semua
‘menyerah’ pada takdir.
Sesungguhnya,
andaikata manusia mau beriman pada Al-Qur’an, seluruh jawaban bagi seluruh
permasalahan hidup sudah tersedia solusinya. Terlebih masalah sosial
kemasyarakatan. Sangat banyak ayat dan hadits yang memberikan solusi logis dan
terbukti berhasil diterapkan dimasa lalu. Sudah pernah Allah Swt menyuguhkan
model masyarakat yang adil didunia ini dalam sejarah Islam masa lalu, yaitu
Madinah.
Selain
itu, berbicara soal kata “adil”, seharusnya Islam lebih berhak untuk
mendefinisikannya. Saya berpendapat demikian karena asal-usul kata “adil”
tersebut berasal dari Islam yang memiliki makna khusus. Dan itu hanya
bisa dipahami dengan tepat jika dirunut menurutworldview Islam.
“Adil” merupakan istilah yang khas yang terdapat dalam banyak sekali ayat dalam
Al-Quran. Salah satu contoh saja dalam Surat An-Nahl:90 , Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (QS. An-Nahl :90)
Prof.
Hamka dalam tafsirnya yang tersohor, Al-Azhar, menjelaskan makna adil dalam
ayat tersebut yakni “menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan
membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada yang empunya dan jangan
berlaku zalim, aniaya.” Lawan dari adil adalah zalim. Yang artinya memungkiri
kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan
perbuatan yang salah, sebab yang bersalah itu ialah kawan atau keluarga
sendiri. Maka benang merahnya, menurut Hamka, selama keadilan itu masih ada di
masyarakat, pergaulan hidup hidup manusia, maka selama itu pula pergaulan akan
aman sentosa, timbul amanat dan percaya-mempercayai.
Adil
dalam Islam bukan “sama rata, sama rasa”. Menurut DR. Adian Husaini, konsep
adil itu adalah konsep khas Islam, jadi seharusnya dipahami dalam
perpektif worldview Islam pula. Jika ini dimaknai
menurut worldview Barat, maka akan berubahlah maknanya.
Seperti contohnya konsep keadilan atau kesetaraan gender menurut Barat. Konsep
ini menggugat pandangan Islam yang mereka tuduh diskriminasi antara laki-laki
dan perempuan dalam hal aqiqoh, waris, imam shalat, dan lain sebagainya.
Mengapa begitu? karena konsep keadilan yang Barat anut bukan pada konsep
keadilan menurut worldview Islam. Dan semua itu sulit untuk
dipahami jika sejak awal dalam hati seseorang memang tidak ada iman sedikitpun.
Seorang
ulama Ikhwanul Muslimin, Sayyid Quthb, sudah pernah membahas tentang solusi
Islam dalam menghadapi ketidakadilan sosial di masyarakat. Hal itu dia beberkan
dalam tafsirnya yang terkenal, Fii Zhilalil Qur’an yang beliau tulis ketika
bertahun-tahun dia dipenjara oleh pemerintah Mesir yang zhalim dan korup.
Bahkan dalam bukunya berjudul Al-‘Adalah al-Ijtima‘iyyah fi
al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), Sayyid Quthb tidak menafsirkan
Islam sebagai sistem moralitas yang usang. Malah justru Islam adalah kekuatan
sosial dan politik yang sangat aplikatif (konkret) direalitas nyata. Di sini
Quthb membantah pemikiran Ali Abd al-Raziq dan Taha Hussein yang sekuler.
Karena keduanya pernah menyatakan bahwa Islam dan politik itu tidak ada
kecocokannya. Sayyid Quthb menyatakan bahwa tidak adanya alasan yang logis
untuk memisahkan Islam dari urusan sosial kemasyarakatan dan politik.
Seorang
Dosen UIN Bandung, Taufiq Rahman, juga pernah membahas ini dalam suatu tulisan
khusus tentang Sayyid Quthb, keadilan sosial dan Islam sebagai solusi.
Menurutnya, Quthb memberikan resep yang telah dijalani oleh Nabi Muhammad SAW
dan para sahabatnya, yaitu membentuk jama‘ah kecil yang berkomitmen kepada
Islam dalam segala aspek kehidupannya, melakukan pemisahan emosional (‘uzla
shu‘uriyya), kemudian membentuk generasi Qur‘ani, dan selanjutnya
menyiapkan tatanan hukum sosial atau membina masyarakat. Semua itu dijelaskan
Sayyid Quthb dalam karya fenomenalnya, Ma‘alim fi al-Tariq.
Taufiq
Rahman juga menjelaskan dalam tulisannya tentang teori Sayyid Quthb tersebut:
“Pemikirannya
tentang keadilan sosial dalam Islam hampir murni dari kritik. Ini karena Quthb
menyajikan bahwa untuk sebuah himbauan moral, Islam pun mempunyai dasar-dasar
etis tentang keadilan sosial. Bukannya kritik yang ada, bahkan peniruan atas
atau penghampiran dengan teori Quthb yang kemudian bermunculan. Semua buku atau
artikel yang ada tentang keadilan sosial dalam Islam adalah kurang lebih sama
dengan apa yang ditulis Qutb. Hamid Algar menyebut bahwa setelah buku Sayyid
Quthb ini (1949) muncul buku senada dari Suriah yaitu Ishtirakiyyat
al-Islam (Sosialisme Islam) (1951) oleh Mustafa al-Siba‘i, Keadilan
Sosial dalam Islam (1951) oleh Hamka dari Indonesia,
dan Iqtisaduna (Ekonomi Kita) oleh Ayatullah Muhammad Baqir al-Sadr
dari Iran.”
Solusi
ini sudah terbukti berhasil diterapkan. Bukan hanya impian atau utopia belaka.
Memperjuangkannya pun lebih memberikan harapan yang kuat dalam hati bahwa
konsep ini akan terwujud dikemudian hari di dalam kehidupan bermasyarakat kita.
Jadi kita sama dengan membangun arsitektur yang sangat memungkinkan untuk
dibangun. Suatu keadilan sosial dalam masyarakat. Tanpa harus menafikan Sunnatullah adanya
hirarki sosial didalam masyarakat itu. Agar perjuangan kita mewujudkan
masyarakat yang lebih baik itu semakin jelas gambarannya. Bukan hanya
diangan-angan seperti impian anarkis yang nanti sudah bisa dipastikan akan
berhenti kelelahan karena upaya yang dilakukan telah menguras tenaga, pikiran,
dana dan waktu. Padahal hasilnya sudah mereka akui sendiri, bahwa hal itu
merupakan KETIDAKMUNGKINAN YANG PASTI.
Semoga
tulisan ini menjadi alternatif pemikiran untuk memilih jalan hidup kalian
masing-masing. Amin
Wallahu
a’lam
Anarkisme dan Islam Dalam Menyikapi Ketidakadilan Sosial
4/
5
Oleh
Redaksi