photo hhhhhhhhiii_zps9dd37855.jpeg" />  photo hhdrhhdhdrhdh_zps2794a59b.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />  photo 565465645565_zps62adc85f.jpeg" />

Jumat, 03 Oktober 2014

ISLAM KLASIK DAN KAJIAN ISLAM DI MASA DEPAN

ISLAM KLASIK DAN KAJIAN ISLAM DI MASA DEPAN
Fu'ad Jabali
Keseluruhan sejarah Islam adalah pergumulan masyarakat Islam mewujudkan nilai-nilai Islam dalam ruang dan waktu tertentu. Catatan pergumulan tersebut lalu disistematisasi dan dilembagakan di balik nama-nama yang sekarang dikenal: tentang Tuhan dalam kaitannya dengan manusia dan alam disebut aqidah/filsafat, tentang hukum dan segala bentuk aplikasinya disebut fikih (atau, syari'ah), tentang makna al-Qur'an disebut tafsir, sementara cara-cara transmisi Islam dari satu generasi ke generasi lain atau dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lain disebut tarbiyah. Sebutan lain seperti adab (sejarah dan kebudayaan Islam), sufisme dan dakwah juga menunjuk pada hal yang sama: hasil pencapaian masyarakat Islam dalam menafsirkan dan mentransmisikan Islam.
Di berbagai tempat dimana proses pendidikan Islam berlangsung-termasuk pesantren, masjid, madrasah, majlis taklim, kelompok pengajian dan IAIN-hasil-hasil capaian tersebut dipelajari. Aqidah, fikih/syari'ah, tafsir, sufisme dll. menjadi materi-materi kajian; bahkan di IAIN menjadi nama fakultas seperti Aqidah/Filsafat, Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah dan Adab.
Proses pelembagaan Islam tersebut-yaitu proses mengkristalnya Islam dalam berbagai ilmu dan aliran pemikiran atau mazhab-sudah mulai nampak dengan kuat terutama pada abad ke 2-3 H / 8-9 M dengan tokoh-tokoh seperti Malik ibn Anas (wafat th. 179 H / 795 M), Abu Hanifah (wafat 150/767), al-Syafi'i (wafat 204/820) dan Ahmad ibn Hanbal (wafat th. 241/855). Sejak abad ini secara intensif Islam diformulasikan, digeneralisasikan, dan dibuat hubungan antara satu sisi dengan yang lainnya. Yang muncul kemudian adalah Islam yang abstrak dan transenden, Islam yang sudah ditarik dari dunia nyata.
Dengan generalisasi/abstraksi/transendensi, ciri khas Islam, atau kemampuan Islam untuk menyapa problem bawah yang yang sangat beragam, tertekan. Dengan kata lain, pendirian mazhab-dimana generalisasi dilembagakan-telah melahirkan alienasi. Pertama, mengalienasi Islam dari masyarakatnya. Untuk memahami generalisasi dan menurunkannya kembali ke tingkat detil memerlukan pengetahuan yang tidak sedikit sehingga hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukannya (dan mereka inilah yang kemudian disebut ahli agama, kyai, guru, ustaz dll). Mereka ini lalu menjadi semacam medium, lembaga perantara, antara Muslim awam dengan persoalan-persoalan mereka. Kedua, alienasi Muslim dari akar Islam, al-Qur'an dan Hadits. Dengan adanya mazhab kedua sumber itu secara tidak sadar terjauhkan dari umat yang semestinya menjadi pembacanya. Persoalan-persoalan yang timbul tidak lagi diadukan langsung kepada al-Qur'an dan Hadith tetapi kepada mazhab. Ketiga, mengalienasi masyarakat Islam dari Tuhannya. Tuhan kini didekati melalui mazhab, melalui institusi. Keempat, mengalienasi Islam dari persoalan aktual, karena mazhab tersebut dilahirkan pada masa tertentu untuk kebutuhan masyarakat tertentu, untuk merespon problem yang lahir pada masa tertentu, maka persoalan kekinian sendiri terpinggirkan dalam mazhab itu.
Untuk keluar dari kemelut ini, seseorang harus bisa melampaui mazhab. 'Melampaui' berarti memecahkan kembali gumpalan-gumpalan mazhab, menguraikannya, mengembalikannya menjadi pecahan-pecahan kecil, dan menerapkannya pada kasus per kasus keseharian dalam bentuk bahan baku. Dengan cara ini, Islam akan kembali menjadi sederhana seperti masa awalnya, lebih fleksibel untuk dibentuk sesuai dengan ruang dan waktu. Tujuan Islam sebagai wahana mendekati Tuhan dan alat untuk menjawab persoalan-persoalan keseharian akan lebih efektif dicapai karena tidak ada lagi lembaga perantara yang memisahkan umat dengan kedua fungsi tersebut.
Memecahkan gumpalan-gumpalan pemikiran yang sudah berabad-abad tersebut memang tidak mudah. Tetapi itulah agenda besar yang harus dilaksanakan jika ingin mengembalikan dinamika Islam ke tengah masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, terutama IAIN, memainkan peranan penting dalam hal ini.
Untuk tujuan tersebut, ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, menguasai masa awal Islam yang simple sebagai bahan dasar-bahan yang dipakai para pendiri mazhab untuk membangun mazhabnya. Kedua, memahami masa dimana pertama kali institusionalisasi terjadi (atau masa dimana pertama kali mazhab-mazhab muncul). Kedua masa ini-masa awal Islam dan masa lahirnya mazhab-masuk ke dalam periode klasik Islam, yaitu masa yang membentang dari masa Nabi sampai Baghdad jatuh pada 1258. Masa ini merupakan masa yang sangat penting baik untuk memahami bangunan Islam sekarang maupun untuk membangun kembali pemahaman Islam yang akan datang.
Struktur Ajaran Islam
Abad ke 1 Hijrah. Pada masa ini Tuhan menurunkan wahyu yang [diyakini Muslim] paling sempurna ke dunia. Sebelumnya Tuhan menurunkan ajaranNya kepada nabi-nabi lain sejak Nabi Adam, tapi [bagi kaum Muslim] ajaranNya yang sempurna hanya diberikan kepada Nabi Muhammad. Sebagai penerima ajaran yang sempurna, Nabi Muhammad juga dianggap sebagai figur yang paling sempurna. Dibanding manusia lain yang pernah ada di dunia, termasuk nabi-nabi, Nabi Muhammad adalah yang terbaik. Demikian juga, umat Nabi Muhammad, sebagai umat yang menerima ajaran yang paling sempurna dari Nabi yang sempurna, adalah juga dipandang umat yang paling sempurna (kuntum khayra ummah). Dalam al-Qur'an disebutkan Nabi dan umatnya akan ditunjuk Tuhan untuk menjadi saksi ketika pengadilan di akhirat nanti terjadi (ummatan wasatan litakunu shuhada' 'ala al-nas).
Walaupun umat Nabi Muhammad, termasuk yang sekarang, dianggap umat yang terbaik yang tengah menjalankan ajaran Tuhan yang terbaik, masa yang paling penting tetap berada pada saat ketiga kesempurnaan itu ada secara bersamaan, yaitu pada abad pertama Hijrah ketika Nabi hidup menjalankan ajaran di tengah-tengah umatnya. Demikian juga, walaupun Muslim kontemporer adalah umat yang terbaik, tetapi yang paling baik diantara seluruh generasi Muslim adalah mereka yang pernah hidup semasa dengan Nabi, mereka yang bersama Nabi membangun masyarakat Islam.
Nabi dan umat sezamannya merupakan figur kunci dalam religiusitas orang Islam kapan pun. Apa yang dilakukan dan dikatakan mereka menjadi dasar hukum bagi orang Islam. Al-Qur'an dan Hadith Nabi adalah dua sumber ajaran Islam utama. Dari masa ke masa kedua sumber ini ditafsirkan dalam rangka menjawab berbagai macam persoalan pada zamannya. Produk dari penafsiran itu adalah tradisi Islam yang kaya raya, berupa mazhab-mazhab pemikiran (seperti Asy'ariyah, Mu'tazilah, Jabariyah dan Qadariyah dalam teologi; dan Maliki, Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dalam fikih) yang kini terekam dalam buku-buku klasik. Semuanya itu adalah buah dari kembang yang ada pada abad pertama Hijriyah tersebut.
Abad ke 2-3. Kalau masa Nabi adalah masa dimana pertama kali kesempurnaan ajaran Tuhan diturunkan, maka abad 2-3 Hijriyah adalah masa dimana untuk pertama kali ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan pada abad pertama tersebut dijabarkan dan dikristalisasikan dalam berbagai mazhab. Dengan kata lain, Islam abadi yang sudah direduksi pada masa Nabi kini direduksi lagi oleh para pendiri mazhab.
Reduksi tingkat pertama selalu lebih baik dari reduski tingkat kedua. Reduksi tingkat pertama dilakukan Tuhan kepada manusia sempurna, Nabi. Reduksi tingkat kedua dilakukan oleh manusia biasa (artinya, bukan Nabi). Reduksi yang pertama, karena dilakukan oleh Tuhan, mengandung misteri dan keagungan. Dia sakral. Reduksi kedua, karena dilakukan manusia, lebih mudah diurai, tahap-tahapannya lebih mudah direkontruksi. Dia tidak sakral. Orang dianjurkan berwudu untuk menyentuh al-Qur'an (sebagai hasil dari reduksi tingkat pertama), dan membacanya bisa mendatangkan suasana spiritual dan mistik. Tidak demikian halnya dengan membaca buku al-Syafi'i (sebagai hasil reduksi tingkat kedua), misalnya.
Tapi lepas dari perbedaan kedua tingkat reduksi tersebut, satu hal sama-sama dimiliki oleh kedua moment penting tersebut: sebagai 'yang pertama,' produk keduanya mengandung otoritas. Al-Qur'an dan buku al-Syafi'i, misalnya, senantiasa menjadi rujukan bagi masyarakat Islam yang datang belakangan. Ada orang yang menganggap reduksi tingkat pertama identik dengan kesempurnaan ajaran Tuhan, dan mengikuti apapun yang ada pada masa itu secara literal. Ada juga yang menganggap reduksi tingkat kedua sebagai identik dengan kebenaran Tuhan, dan mengikuti putusan-putusan mazhab secara literal. Dua pilihan itu sama-sama menafikan proses sebagai sesuatu yang esensi dalam Islam.
Sesuatu 'yang pertama' selalu penting dan menentukan, karena di sinilah letaknya bagaimana sesuatu tersebut bermula. Di sinilah berbagai ketegangan terjadi, tarik-tarikan antara berbagai macam variable terjadi: tarik-tarikan antara kesempurnaan langit dengan keterbatasan bumi pada kasus Nabi; dan tarik-tarikan antara kesempurnaan Nabi dengan keterbatasan manusia biasa pada kasus pembentukan mazhab. Pada kasus Nabi ada reduksi tingkat pertama, pada kasus mazhab ada reduksi tingkat kedua (reduksi dari reduksi).
Kalau mampu mengurai bagaimana reduksi terjadi, bagaimana tarik-tarikan bekerja, pada kedua tingkatan itu, maka akan sampai kepada pemahaman yang baik tentang Islam. Dengan memahami proses reduksi tingkat pertama, dari makna abadi di wilayah Tuhan ke makna yang dibatasi ruang dan waktu pada masa Nabi, seseorang bisa memahami mana tradisi Arab abad ke 7 dan mana Islam yang universal. Yang akan diterapkan adalah Islam, bukan tradisi Arab. Lewat pemahaman proses reduksi tingkat kedua, dari ajaran Nabi dan sahabatnya ke mazhab oleh para pendirinya, sesorang akan bisa menjawab posisi mazhab-mazhab pemikiran dalam Islam. Haruskah kaum Muslim terus mengikuti Imam Shafi'i?
Al-Qur'an, dan Hadits serta sejarah hidup Nabi adalah reduksi dari realitas wilayah langit. Sebagai reduksi, dia tidak persis sama dengan makna abadi yang merupakan bentuk asli agama. Walau begitu harus dicatat bahwa, karena Nabi adalah makhluk yang terbaik dan al-Qur'an adalah ungkapan yang terbaik, maka sejarah hidup Nabi dan al-Qur'an, serta kata-kata Nabi adalah bentuk reduksi dunia langit yang terbaik yang mungkin dimiliki oleh umat Islam. Atau dengan kata lain, al-Qur'an dan Nabi adalah pintu terbaik yang kaum Muslim miliki untuk memahami Islam.
Karena al-Qur'an dan hadith Nabi adalah ungkapan yang terbaik yang dipunyai, maka umat Islam harus tahu persis bagaimana ungkapan yang terbaik itu sebenarnya. Seperti dikatakan al-Qur'an dan Hadits Nabi, kaum Muslim harus mecontoh dan mengikuti Nabi. 'Mencontoh' dan 'mengikuti' hanya mungkin dilakukan kalau mereka tahu persis apa yang sebenarnya terjadi pada masa Nabi. Historisitas menjadi penting. 'Apa sebenarnya yang telah terjadi' menjadi penting untuk direkonstruksi oleh semua umat Islam.
Tapi pada level kedua, karena Al-Qur'an dan Hadits Nabi itu terhubungkan dengan dunia langit, maka selain mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, seseorang juga harus mampu menemukan makna apa sebenarnya yang ada di balik kata-kata atau peristiwa tersebut. Jawaban ini, karena terkait dengan dunia langit, tidak ada yang tahu. Hanya Tuhanlah yang tahu sebenarnya, dan karena itu para ulama selalu mengatakan 'wallalu a'lam bi al-sawab' ketika dia mengkahiri sebuah bahasan. Dan karena tidak ada yang persis tahu maka jawaban terhadap pertanyaan ini tidak satu. Jamak, plural.
Ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Nabi sebelum mengalami reduksi. Inilah yang harus ditangkap. Berbagai macam tafsiran al-Qur'an, dan berbagai macam mazhab ditulis dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Manusia, sebagai amkhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Dan di sinilah esensi dari beragama: ada dinamika, ada pencarian yang terus menerus, proses menjadi yang tanpa batas. Kata 'Islam' sendiri' berarti 'sedang berusaha selamat'. (Bukan 'silm' yang berati 'selamat'). 'Muslim', berbeda dengan 'Salim', adalah 'orang-orang yang sedang berusaha menjadi Islam'. Dalam berislam ada dinamika, ada usaha yang terus menerus, bahkan usaha dan dinamika adalah esensi dari berislam. Dalam pengertian ini, orang yang tidak memiliki dinamika di dalam dirinya bisa disebut non-Muslim.
Dialog dengan Sumber Utama
Ada komponen penting pada suatu permulaan: kesederhanaan. Sesuatu yang pertama selalu sederhana, simple, mudah dipahami, dan merakyat. Ajaran-ajaran Nabi seperti yang terungkap dalam Hadits-Hadits Nabi menggambarkan keadaan ini. Karena simple, selain mudah dipahami, ajaran-ajaran Islam juga sangat fleksibel. Penyebaran Islam ke wilayah yang lebih luas dan kemampuan beradaptasi dengan komunitas lokal hanya mungkin terjadi jika ada fleksibelitas. Sesuatu yang simple, sederhana selalu mampu merangkul masyarakat yang lebih luas.
Contoh yang bagus adalah syahadat dan aqidah. Jika seorang ingin masuk Islam, dia diwajibkan mengucapkan syahadat, yaitu kesaksian bahwa hanya Allahlah Tuhan yang Esa dan bahwa Muhammad adalah utusanNya. Hanya ucapan itu, tidak ada upacara atau kegiatan ritual lain yang kompleks. Pada perkembangan berikutnya muncul apa yang bernama aqidah. Kalau syahadat adalah komitmen individu, maka aqidah adalah komitmen suatu kelompok. Dengan kata lain, aqidah adalah syahadatnya masyarakat. Syahadat hanya satu dan dari orang ke orang ungkapannya sama. Aqidah jumlahnya banyak (Wasiyat Abu Hanifah, Aqidah Tahawiyah dll) dan ungkapannya beragam.
Yang menjadi perhatian utama adalah persoalan pengungkapan dan kaitannya dengan waktu. Syahadat, sebagai bagian dari permulaan, sangat simpel. Ungkapannya pendek. Aqidah, bagian dari masa belakangan, lebih kompleks dan ungkapannya panjang sekali. Tidak seperti Syahadat, aqidah mengharuskan penganutnya untuk mengakui banyak hal: mulai dari pengakuan keesaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, kalam Tuhan, sampai ke pengakuan bahwa mengusap sepatu itu wajib dan barang siapa yang mengingkarinya maka dia terancam menjadi kafir. Orang yang tidak mengakui salah satu komponen aqidah itu akan dianggap sebagai 'orang lain' atau bukan bagian dari masyarakat (jama'ah). Keyakinan yang berkembang di luar jama'ah disebut sekte.
Kalau menggunakan aqidah sebagai acuan dalam beragama, maka seseorang telah keluar dari simplisitas dan menghadirkan kompleksitas beragama yang menyulitkan orang untuk berislam. Sebaliknya kalau menggunakan syahadat, seseorang akan kembali ke simplisitas dan memudahkan orang untuk berislam. Semakin simpel suatu ajaran, semakin sedikit kata-kata yang dibuat, semakin banyak masyarakat yang bisa dimasukkan ke dalamnya. Semakin rumit sebuah ajaran, semakin panjang sebuah rumusan doktrin, semakin banyak orang yang tersingkirkan. Seperti perintah, "Semua orang masuk!" Dengan tiga kata ini tidak ada seorangpun yang disingkirkan. Tetapi begitu ditambah satu kata lagi (menjadi 4 kata), "Semua orang Padang masuk." Selain orang Padang tidak boleh masuk. Banyak orang tersingkirkan. Kalau ditambah satu kata lagi (menjadi 5 kata), "Semua orang Padang kaya masuk." Semakin banyak lagi orang yang tersingkirkan. Proses seperti ini telah terjadi pada rumusan doktrin Islam.
Semua itu tidak untuk mengatakan bahwa perluasan doktrin atau penjabaran Islam tidak perlu ada. Simplisitas Islam ketika memasuki suatu masa tertentu atau tempat tertentu perlu dipadukan dengan budaya lokal. Simplisitas harus dibiarkan terbuka supaya orang bisa masuk beserta semua kekayaan imajinasi, fikiran dan budayanya. Ini adalah proses yang tidak bisa dihindarkan. Budaya Islam berkembang dengan pesat justeru karena kesiapan Islam untuk dimasuki orang-orang banyak, ide banyak. Jika simplisitas dibekukan, maka Islam tidak akan bisa berkembang. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk.
Tidak juga berarti bahwa simplisitas itu tidak diperlukan lagi. Masyarakat Islam awal adalah suatu bahan dasar yang bisa dipakai untuk membangun berbagai ekspresi Islam. Problem masyarakat yang semakin kompleks memerlukan rumusan Islam yang sepadan. Beragama memerlukan proses pemilikan. Islam harus menjadi bagian dari individu dan masyarakat. Proses pemilikan melibatkan dialog yang kompleks antara individu dan masyarakat, dengan segala kekayaannya-baik budaya, sejarah maupun kepentingan-dengan Islam. Hasilnya tidak lagi Islam yang simpel. Komplikasi adalah suatu keharusan dalam proses pemilikan. Jika hal tersebut tidak terjadi, Islam yang dianut akan menjadi Islam yang teralienasi dari dunia nyata. Tetapi rumusan baru yang kompleks tersebut harus bisa diturunkan lagi setiap saat ke dalam bentuk simplenya yang asli. Ketika kompleksitas telah berubah menjadi belenggu yang membingungkan, baik itu terjadi pada tingkat individu maupun generasi, akan ada tempat untuk kembali. Kembali ke kesederhanaan, kembali ke bahan baku, untuk kemudian kembali membuat kesepakatan-kesepakatan baru, bangunan-bangunan baru.
Simplisitas-kompleksitas dalam Islam juga bisa dilihat pada tingkat sumber. Pada masa awal sumber Islam hanya al-Qur'an dan Hadits Nabi. Belum ada ijma`, belum ada qiyas. Belum ada buku mazhab, baik dalam bidang fikih maupun teologi. Pada masa itu al-Qur'an dan Hadits Nabi langsung berhadapan dengan tradisi lokal, dengan realitas masyarakat. Suasana yang sama sekali berbeda dengan saat ini. Sekarang al-Qur'an dan Hadits sudah dibentengi oleh berbagai tradisi dan buku. Al-Qur'an dan Hadits Nabi tidak lagi berdialog langsung dengan realitas kekinian, tapi diperantarai oleh buku dan tradisi tersebut, yang sering sangat kokoh sehingga tidak tembus-sehingga akhirnya tidak lagi merasakan keindahan dan kesucian al-Qur'an-yang sering tidak paham dengan tradisi tertentu, dengan persoalan tertentu.
Menghadirkan al-Qur'an dan Hadits langsung kehadapan umat masa kini, tanpa perantara, juga berarti mengembalikan otoritas kedua sumber itu. Kembali ke masa awal Islam yang simpel berarti mengembalikan rumusan-rumusan kebenaran al-Qur'an dan Hadits yang simpel. Dari kedua sumber inilah dimulai upaya membangun tradisi Islam yang baru, melakukan teoritisasi, problematisasi, mendialogkan kembali kedua sumber itu dengan kompleksitas persoalan nyata. Dengan kata lain, perlu melakukan hal yang persis dilakukan oleh generasi kaum Muslimin sebelum mazhab-mazhab terbentuk. Besar kemungkinan hasil dialog tersebut akan melahirkan mazhab-mazhab baru, seperti halnya generasi abad ke 2-3 masyarakat Islam yang melahirkan Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. Mazhab yang terbentuk adalah mazhab yang lahir langsung dari al-Qur'an. Bukan mazhab yang lahir dari mazhab. Hubungan dengan mazhab-mazhab tersebut tidak instruktif, tapi aspiratif. Hasil pemikiran yang dikembangkan di IAIN bisa jadi tidak merupakan kelanjutan darti mazhab-mazhab tersebut. Bisa jadi ada loncatan, ada sesuatu yang sama sekali baru. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat usia mazhab-mazhab (fikih) sekarang sudah lebih dari 1000 tahun.
Menjadikan mazhab-mazhab yang ada sebagai sumber aspirasi tidak sama dengan merendahkan kedudukan mazhab-mazhab tersebut. Sekali lagi perlu ditegaskan mazhab-mazhab tersebut adalah mazhab pertama yang terinstitusionalisasi dalam Islam. Sebagai yang pertama ia juga memiliki otoritas, tentu saja pada level yang berbeda dengan al-Qur'an dan Hadits. Dari mazhab-mazhab itulah Muslim kontemporer bisa berkaca bagaimana problem-problem masyarakat mereka diadukan kepada al-Qur'an dan Hadits. Dalam hal ini proses institusionalisasi menjadi lebih penting diperhatikan daripada hasilnya.
Arti Bermazhab
Bagaimana berkaca pada mazhab? Ambil contoh Abu Hasan al-Asy'ari (wafat th. 324/935), tokoh penting di balik pendirian mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang kini menjadi anutan masyarakat Islam di Indonesia. Bagaimana cara memposisikan pendiri mazhab Asy'ariyyah ini?
Pertama perlu ditegaskan kembali bahwa suatu pemikiran muncul karena adanya tantangan. Jenis pemikiran akan ditentukan oleh jenis tantangan. Untuk memahami suatu pemikiran, seseorang harus memahami dulu tantangan apa yang dihadapi oleh para pemikir pada masa itu. Persoalan apa sebenarnya yang tengah dijawab, problem apa yang tengah dipikirkan. Abu Hasan al-Asy'ari merumuskan pikiran teologinya karena adanya tantangan Mu'tazilah. Yang terakhir ini, sebagai akibat dari kajian filsafat, berusaha memasukkan elemen akal yang lebih besar ke dalam interpretasi wahyu. Kontroversi ini terkristalisasi dalam beberapa persoalan seperti sifat Tuhan, kalam Allah, perbuatan manusia dll. Karena pikiran al-Ay'ari merupakan reaksi atau jawaban dari lontaran Mu'tazilah, maka isi pikiran al-Asy'ari akan ditentukan oleh isu yang dilontarkan Mu'tazilah.
Buku, sebagai catatan suatu pemikiran, juga harus dipahami seperti itu. Suatu buku lahir dari konteks tertentu, pada suatu ruang dan waktu tertentu. Jika ingin memahami buku itu maka yang harus dilakukan adalah menyusun kembali konteks kelahiran buku tersebut, atau, dengan kata lain, sejarah yang mengitari kelahiran buku tersebut, totalitas realitas sejarah yang melahirkan buku atau karya tersebut. Kalau ini benar, maka kajian sejarah menjadi sangat penting dalam memahami sebuah teks. Pemahaman sejarah mendahului pemahaman teks.
Buku teologi Abu Hasan, karena ditulis sebagai respon terhadap pemikiran Mu'tazilah, ditentukan isinya oleh Mu'tazilah. Isunya isu Mu'tazilah. Tentu saja dengan jawaban yang berbeda. Buku Maqalat-nya berisi persoalan-persoalan yang memang sedang menjadi isu saat itu. Kalau ingin menggunakan teologi Asy'ariyah sekarang, apakah seseorang akan menganut pikirannya dalam persoalan-persoalan Mu'tazilah itu? Persoalan yang tidak menjadi isu besar dalam masyarakat saat ini? Apakah sekarang isu sifat Tuhan, misalnya, sedang diperdebatkan di wilayah publik di TV, koran, radio, seperti halnya hal itu diperdebatkan dengan media yang berbeda pada masa Abu Hasan al-Asy'ari? Muslim sekarang punya persoalan tersendiri, yang sama sekali bukan persoalan sifat Tuhan atau bisa tidaknya melihat Tuhan di akhirat. Muslim sekarang perlu rumusan teologi yang bisa menjawab persoalan kekinian mereka. Bukan teologi yang bisa memecahkan persoalan masa Abu Hasan al-Asy'ari.
Tentu saja warisan Abu Hasan, seperti halnya warisan tradisi Islam masa lalu lainnya, sangat penting dipelajari. Bukan untuk diikuti secara literal, tapi untuk dijadikan cermin. Ketika bercermin, yang muncul adalah bayangan sendiri, bukan bayangan Abu Hasan. Muslim sekarang membaca Abu Hasan untuk melihat diri sendiri, memahami masyarakat sendiri. Yang menjadi pusat perhatian adalah umat Islam kontemporer, persoalan kontemporer. Mereka boleh saja menjadi pengikut Abu Hasan. Tapi pengikut yang baik adalah pengikut yang bisa mengulangi event dia: bahwa dia maju ke depan berfikir mencari pemecahan problem pada masanya. Menjadi pengikut dia, berarti maju memikirkan dan mencari pemecahan problem pengikut itu sendiri. Problem Abu Hasan tidak mesti diikuti. Isi buku Abu Hasan tidak mesti dihafalkan dan diyakini sampai berkeyakinan bahwa teologi yang dianut isinya sama dengan isi buku Abu Hasan. Teologi kontemporer adalah teologi masa kontemporer, teologi yang berisi kata-kata sendiri, yang merujuk pada benda-benda yang ada di sekitar umat saat ini.
Tentu saja seseorang baru bisa merumuskan teologi yang tepat untuk dirinya kalau ia paham apa persoalannya. Teologi suatu generasi, atau aliran pemikiran apapun dalam suatu generasi, adalah jawaban generasi tersebut pada persoalan mereka. Pada saat itu aliran pemikiran tersebut memang cocok (karena memang dirumuskan untuk memecahkan persoalan mereka). Kalau seseorang ingin merumuskan paham keagamaan yang cocok buat dirinya, pertama-tama ia harus paham apa problem dirinya. Kesalahan mengidentifikasi problem akan melahirkan rumusan pikiran yang salah buat dirinya.
Walaupun teologi banyak disebut, uraian di atas juga berlaku untuk ekspresi Islam lainnya, misalnya fikih. Fikih adalah rumusan manusia tentang persoalan hukum pada masanya. Fikih al-Syafi'i adalah fikih yang ditulis untuk menjawab persoalan hukum masanya. Apa persoalan masa kini? Apakah persoalan umat sekarang sama dengan persoalan yang dihadapi oleh imam Syafi'i?, sehingga kalau ingin mengikuti mazhab Syafi'i berarti harus mengikuti semua apa yang dia tulis dalam bukunya, lepas dari apakah apa yang dia tulis itu relevan buat Muslim saat ini? Atau apakah juga menjadi pengikut al-Syafi'i berarti mengikuti jejaknya dalam hal memacu dirinya untuk menjawab persoalan pada masanya?
Kembali ke Abu Hasan. Pada tingkat pertama, menjadi pengikut Abu Hasan berarti mencontoh dia dalam hal keteguhan dan keyakinan serta ketekunannya dalam menjawab tantangan pada masanya untuk menciptakan kemaslahatan umat masanya. Pada level kedua, menjadi pengikutnya berarti mengikuti ajaran dia. Tapi ajaran dia tidak identik dengan apa yang dia katakan dalam buku-buku mereka. Jadi apa ajaran mereka? Ajaran mereka bukan pada level detil, yaitu bahwa Qur'an itu bukan mahluk atau bahwa seseorang pasti melihat Tuhan di akhirat, tapi pada tingkat prinsip yang lebih tinggi. Apa itu? Seseorang akan melihat suatu contoh yang menjadi salah satu isu utama pada masa Abu Hasan: hubungan antara Tuhan dengan sifatNya.
Pada waktu kalangan ahli Hadits mengatakan bahwa dhat Tuhan itu berbeda dengan sifatNya dan bahwa sifat Tuhan itu abadi maka persoalanpun muncul. Dhat Tuhan abadi. Sifat Tuhan, yang ada dalam diri Tuhan, juga abadi. Bukankah itu berarti mengakui adanya dua keabadian dalam diri Tuhan (yaitu dhat dan sifatNya)?
Abu al-Hudhayl (wafat th. 226/840), salah seorang tokoh Mu'tazilah, berkeyakinan bahwa mengakui sifat Tuhan sebagai berbeda dengan dhatNya adalah sirik. Dhat Tuhan itu, menurutnya, tidak berbeda dengan sifatNya. Dhat Tuhan adalah sifatNya. SifatNya adalah dhat Tuhan. Lalu dengan apa Tuhan mengetahui? Tuhan mengetahui bukan dengan 'sifat mengetahui' yang ada dalam dhatNya, tapi lagsung dengan dhatNya. Dhat Tuhan itu adalah ilmu. Ilmu adalah dhat Tuhan. Dalam pandangan Mu'tazilah, inilah tawhid yang sebenarnya (dan karena itu mereka menamakan dirinya ahli tawhid).
Abu Hasan menolak pandangan Mu'tazilah tersebut. Tuhan berfirman dalam al-Qur'an bahwa Dia itu memiliki sifat. Nabi juga menyatakan begitu. Sahabat Nabi juga menyatakan begitu. Penolakan Mu'tazilah pada sifat Tuhan adalah penolakan pada kata-kata Tuhan, Nabi dan sahabatnya.
Pada saat yang sama Abu Hasan juga tidak setuju dengan pandangan ahli Hadits yang mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya. Mengatakan bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan dhatNya dan bahwa sifatNya itu abadi memang akan menggiring pada pemahaman adanya dualisme dalam diri Tuhan. Ini tidak benar. Yang benar-setelah diperdebatkan di kalangan para pengikut Abu Hasan sendiri-adalah "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan (laa huwa walaa ghayruh)."
Doktrin yang dirumuskan oleh kelompok Asy`ariyah itu seperti dua sisi mata uang. Ia adalah penolakan dan sekaligus juga pengakuan terhadap kedua kelompok yang bertikai di atas. Lewat "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan" mereka tolak Mu'tazilah dan mereka rangkul ahli Hadits yang berpendapat bahwa sifat Tuhan itu berbeda dengan Tuhan. Lewat "Bukan juga bukan Tuhan", mereka tolak ulama Hadits dan mereka rangkul orang Mu'tazilah yang menyamakan Tuhan dengan sifatnya. Dua-duanya ditolak dan dua-duanya diterima dalam waktu yang bersamaan.
Sebelum doktrin Asy'ariyah tentang sifat Tuhan itu diterima oleh kebanyakan orang Sunni, termasuk Nahdlatul Ulama (NU), Abu Hasa al-Asy'ari dan pengikutnya menjadi bulan-bulanan kedua kelompok yang berusaha dia kompromikan. Oleh Mu'tazilah dia ditolak, oleh ulama salaf juga tidak disukai. Keduanya sama-sama merasa tidak terwakili. Sampai abad ke 12 para pengikut al-Asy'ari masih harus bertarung di jalan-jalan Baghdad melawan pendukung Mu'tazilah dan pendukung ahli Hadits.
Bagaimana Asy`ariyah sekarang bisa diterima oleh kebanyakan umat? Rahasia di balik rumusan ajaranya mungkin bisa membantu untuk menjawabnya. Semangat dari rumusan "Sifat Tuhan itu bukan Tuhan dan bukan juga bukan Tuhan" adalah bahwa realitas Tuhan itu bukan seperti yang dijelaskan baik oleh Mu'tazilah maupun oleh ahli Hadith. Definisi yang mereka rumuskan sama-sama tidak mampu menghadirkan eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Makanya ditolak.
Kalau begitu, rumusan yang diajukan Asy`ariyah itu sesungguhnya bukan sebuah definisi, tapi lebih berupa sebuah pengakuan yang tulus: pertama, pengakuan terhadap usaha Mu'tazilah dan ahli Hadith untuk memahami realitas Tuhan; kedua, pengakuan bahwa realitas Tuhan itu jauh lebih kompleks dari deskripsi yang dibuat oleh Mu`tazilah dan oleh ulama salaf (dan oleh manusia manapun).
Lalu apa artinya menjadi pengikut Abu Hasan al-Asy'ari? Artinya berislam menurut prinsip Abu Hasan: mengakui relativitas setiap deskripsi tentang Tuhan dan ajaranNya, memberi hak kepada masing-masing kelompok pembuat deskripsi tersebut untuk terus ada, dan menghindari ekstrimitas dalam berislam. Posisi Abu hasan adalah posisi tengah, yang berusaha menjembatani berbagai ekstrimitas berbagai pihak yang bersebrangan. Menjadi pengikut Abu Hasan adalah memegang teguh prinsip ini. Persoalan-persoalan luar yang dia diskusikan pada masanya, seperti persoalan Tuhan dan sifatNya, bagi Muslim sekarang ada pada lapisan kedua. Mengajarkan teologi Asy'ariyah di lembaga-lembaga pendidikan Islam, termasuk IAIN, harus dikonsentrasikan pada lapisan pertama, pada lapisan prinsip. Langkah berikutnya adalah melihat lapisan pertama tersebut dengan kaca mata awal Islam: Apakah dia punya dasar kuat dalam al-Qur'an dan Hadith? Apakah ini posisi yang diambil Nabi?
Ilmu Bantu
Islam adalah agama Tuhan untuk manusia. Berasal dari Tuhan, Islam adalah agama Tuhan. Buat manusia, Islam adalah agama manusia. Tuhan dan manusia adalah dua realitas yang tidak bisa dipisahkan dari agama. Tanpa salah satunya agama tidak akan ada.
Karakteristik dua realitas ini sama sekali berbeda. Tuhan adalah realitas yang sangat luhur dan tak terbatas. Manusia adalah realitas yang rendah dan penuh dengan keterbatasan. Di wilayah Tuhan ada makna abadi. Tuhan menghendaki supaya makna tersebut dipahami manusia. Supaya bisa dipahami, makna yang ada di wilayah Tuhan tersebut harus direduksi sedemikian rupa sehingga manusia mampu menangkapnya. Dengan kata lan, makna itu harus diperkecil, dibuat miniaturnya, sebab kalau tidak begitu, manusia yang sangat terbatas ini tidak akan mampu menangkapnya.
Islam, dengan demikian, hanya bisa dipahami dengan baik manakala perhatian Muslim ditujukan pada dua wilayah sekaligus: wilayah Tuhan dan wilayah manusia. Ajaran-ajaran Islam yang ada di wilayah Tuhan perlu ditangkap dan dipahami, dan ajaran Tuhan tersebut bisa ditangkap lewat wilayah manusia. Apa yang ada di wilayah manusia adalah pintu masuk memasuki dunia langit. Agama, kitab suci, Nabi adalah pintu memasuki dunia langit. Untuk memahami dunia langit seseorang harus memahami dunia manusia, memahami kitab suci, memahami Nabi. Tanpa pemahaman itu dunia langit tidak akan bisa ditangkap dengan baik.
Oleh karena agama pada dasarnya untuk manusia, maka sebagian kebenaran agama juga ada pada manusia. Karena ada manusialah agama ada. Yang membenarkan agama adalah manusia. Manusia demikian penting posisinya dalam agama. Dia adalah titik temu antara dunia langit dan dunia bumi. Sebagai titik pertemuan, manusia menjadi unik. Mengkaji keunikan manusia-dengan segala produknya, termasuk budaya, tradisi, bahasa, ilmu pengetahuan dan teknologi-adalah sebuah kemestian dalam memahami agama. Dalam rangka inilah ilmu-ilmu seperti filsafat, sosiologi, antropologi, dan psikologi, menjadi penting untuk dikaji di IAIN.
Ilmu-ilmu sosial seperti itu bukan hanya baik untuk memahami Islam juga mutlak diperlukan untuk menerapkan Islam. Agama Islam harus diterapkan dalam tingkah laku. Karena itu dalam merealisasikan Islam umat Islam kontemporer harus mengetahui diri mereka sendiri, kelebihan dan kekurangan mereka, apa kemauan dan cita-cita mereka. Islam persis diturunkan untuk tujuan-tujuan itu: membantu manusia untuk hidup makmur, adil, bahagia.
Penutup
Ditegaskan bahwa masa klasik-masa yang membentang dari abad ke-1 H/ ke-7 sampai jatuhnya Baghdad pada abad ke-7 H/ ke-13 M-adalah masa dimana dua peristiwa penting terjadi. Pertama, diturunkannya wahyu secara sempurna ke dunia lewat Nabi Muhammad; kedua, dilembagakannya wahyu tersebut dalam berbagai mazhab yang dianut masyarakat Islam sekarang. Produk kedua peristiwa tersebut-yaitu al-Qur'an, Hadith Nabi, Sirah (sejarah hidup Nabi), Maghazi (sejarah peperangan Nabi) pada peristiwa pertama dan buku-buku yang ditulis para imam mazhab dan pengikut mereka pada peristiwa kedua-beserta konteks yang mengitarinya tersimpan dalam khazanah buku-buku yang sangat kaya. Buku-buku tersebut mutlak diperlukan dalam keberagamaan masyarakat Muslim sekarang. Baik kelompok yang ingin mengikuti warisan itu secara utuh (yang ingin mengikuti al-Qur'an dan Hadith Nabi serta ajaran-ajaran para pendiri mazhab sepersis mungkin) ataupun kelompok yang ingin mengikuti warisan tersebut secara terbuka (mempelajari warisan tersebut lewat konteks yang melahirkannya dan berusaha menarik semangat yang ada di balik ekspresi verbal warisan tersebut kemudian menerapkannya kembali dalam konteks mereka yang berbeda dengan ekspresi verbal bisa jadi berbeda) tidak mungkin melepaskan diri dari khazanah klasik tersebut.
Dengan kata lain, hanya lewat penguasaan tradisi klasik tersebutlah bangunan Islam mungkin didirikan. Reinterpretasi, tajdid, gerakan Salafi, kontekstualisasi, atau apapun bentuk gerakan yang muncul di masyarakat Islam, hanya mungkin berdiri dengan kokoh kalau dia berakar kuat dalam tradisi Islam klasik. Pilihan arah dan bentuk kajian Islam, baik di IAIN maupun di lembaga-lembaga kajian Islam lainnya, harus berpijak pada tradisi Islam klasik. Al-Qur'an, Hadith, dan karya-karya imam mazhab harus menjadi pijakan.
Warisan Islam klasik tersebut tentu harus dibaca dengan kreatif. Untuk itu pemahaman tentang manusia-sebagai penerima dan pelaksana agama-beserta produknya (budaya, ilmu, teknologi) mutlak diperlukan. Tuhan dan manusia, langit dan bumi, seperti dua sisi mata uang dalam agama.

Related Posts

ISLAM KLASIK DAN KAJIAN ISLAM DI MASA DEPAN
4/ 5
Oleh

Berlangganan Melalui email

Jika Anda Menyukai Postingan Kami, Silahkan Subcribe Untuk Mendapatkan Updatenya Melalui Email.