PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Jamhari Ma'ruf
Jamhari Ma'ruf
Fenomena
agama adalah fenomena universal manusia. Selama
ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang
menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak
mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa
perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna
agama, hal itu tidak berhasil meniadakan eksistensi
agama dalam masyarakat. Sehingga kajian tentang
agama selalu akan terus berkembang dan menjadi kajian
yang penting. Karena sifat universalitas agama dalam
masyarakat, maka kajian tentang masyarakat tidak
akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu
faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi
dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan
keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan.
Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat
menggambarkan realitas sosial yang lebih lengkap.
Pernyataan
bahwa agama adalah suatu fenomena abadi di dalam
di sisi lain juga memberikan gambaran bahwa keberadaan
agama tidak lepas dari pengaruh realitas di sekelilingnya.
Seringkali praktik-praktik keagamaan pada suatu
masyarakat dikembangkan dari doktrin ajaran agama
dan kemudian disesuaikan dengan lingkungan budaya.
Pertemuan antara doktrin agama dan realitas budaya
terlihat sangat jelas dalam praktik ritual agama.
Dalam Islam, misalnya saja perayaan Idul Fitri di
Indonesia yang dirayakan dengan tradisi sungkeman-bersilaturahmi
kepada yang lebih tua-adalah sebuah bukti dari keterpautan
antara nilai agama dan kebudayaan. Pertautan antara
agama dan realitas budaya dimungkinkan terjadi karena
agama tidak berada dalam realitas yang vakum-selalu
original. Mengingkari keterpautan agama dengan realitas
budaya berarti mengingkari realitas agama sendiri
yang selalu berhubungan dengan manusia, yang pasti
dilingkari oleh budayanya.
Kenyataan
yang demikian itu juga memberikan arti bahwa perkembangan
agama dalam sebuah masyarakat-baik dalam wacana
dan praktis sosialnya-menunjukkan adanya unsur konstruksi
manusia. Walaupun tentu pernyataan ini tidak berarti
bahwa agama semata-mata ciptaan manusia, melainkan
hubungan yang tidak bisa dielakkan antara konstruksi
Tuhan-seperti yang tercermin dalam kitab-kitab suci-dan
konstruksi manusia-terjemahan dan interpretasi dari
nilai-nilai suci agama yang direpresentasikan pada
praktek ritual keagamaan. Pada saat manusia melakukan
interpretasi terhadap ajaran agama, maka mereka
dipengaruhi oleh lingkungan budaya-primordial-yang
telah melekat di dalam dirinya. Hal ini dapat menjelaskan
kenapa interpretasi terhadap ajaran agama berbeda
dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Kajian
komparatif Islam di Indonesia dan Maroko yang dilakukan
oleh Clifford Geertz misalnya membuktikan adanya
pengaruh budaya dalam memahami Islam. Di Indonesia
Islam menjelma menjadi suatu agama yang sinkretik,
sementara di Maroko Islam mempunyai sifat yang agresif
dan penuh gairah. Perbedaan manifestasi agama itu
menunjukkan betapa realitas agama sangat dipengaruhi
oleh lingkungan budaya.
Perdebatan
dan perselisihan dalam masyarakat Islam sesungguhnya
adalah perbedaan dalam masalah interpretasi, dan
merupakan gambaran dari pencarian bentuk pengamalan
agama yang sesuai dengan kontek budaya dan sosial.
Misalnya dalam menilai persoalan-persoalan tentang
hubungan politik dan agama yang dikaitkan dengan
persoalan kekuasaan dan suksesi kepemimpinan, adalah
persoalan keseharian manusia-dalam hal ini masalah
interpretasi agama dan penggunaan simbol-simbol
agama untuk kepentingan kehidupan manusia. Tentu
saja peran dan makna agama akan beragam sesuai dengan
keragaman masalah sosialnya.
Antropologi,
sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi
sangat penting untuk memahami agama. Antropologi
mempelajari tentang manusia dan segala perilaku
mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan
manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik
dan komitmen antropology akan pemahaman tentang
manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan
ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi
sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid
mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat
penting untuk memahami agama Islam, karena konsep
manusia sebagai 'khalifah' (wakil Tuhan) di bumi,
misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi
manusia dalam Islam.
Posisi
penting manusia dalam Islam juga mengindikasikan
bahwa sesungguhnya persoalan utama dalam memahami
agama Islam adalah bagaimana memahami manusia. Persoalan-persoalan
yang dialami manusia adalah sesungguhnya persoalan
agama yang sebenarnya. Pergumulan dalam kehidupan
kemanusiaan pada dasarnya adalah pergumulan keagamaannya.
Para antropolog menjelaskan keberadaan agama dalam
kehidupan manusia dengan membedakan apa yang mereka
sebut sebagai 'common sense' dan 'religious atau
mystical event.' Dalam satu sisi common sense mencerminkan
kegiatan sehari-hari yang biasa diselesaikan dengan
pertimbangan rasional ataupun dengan bantuan teknologi,
sementera itu religious sense adalah kegiatan atau
kejadian yang terjadi di luar jangkauan kemampuan
nalar maupun teknologi.
Penjelasan
lain misalnya yang diungkapkan oleh Emile Durkheim
tentang fungsi agama sebagai penguat solidaritas
sosial, atau Sigmund Freud yang mengungkap posisi
penting agama dalam penyeimbang gejala kejiwaan
manusia, sesungguhnya mencerminkan betapa agama
begitu penting bagi eksistensi manusia. Walaupun
harus disadari pula bahwa usaha-usaha manusia untuk
menafikan agama juga sering muncul dan juga menjadi
fenomena global masyarakat. Dua sisi kajian ini-usaha
untuk memahami agama dan menegasi eksistensi agama-sesungguhnya
menggambarkan betapa kajian tentang agama adalah
sebagai persoalan universal manusia.
Dengan
demikian memahami Islam yang telah berproses dalam
sejarah dan budaya tidak akan lengkap tanpa memahami
manusia. Karena realitas keagamaan sesungguhnya
adalah realitas kemanusiaan yang mengejawantah dalam
dunia nyata. Terlebih dari itu, makna hakiki dari
keberagamaan adalah terletak pada interpretasi dan
pengamalan agama. Oleh karena itu, antropologi sangat
diperlukan untuk memahami Islam, sebagai alat untuk
memahami realitas kemanusiaan dan memahami Islam
yang telah dipraktikkan-Islam that is practised-yang
menjadi gambaran sesungguhnya dari keberagamaan
manusia.
Di
Indonesia usaha para antropolog untuk memahami hubungan
agama dan sosial telah banyak dilakukan. Barangkali
karya Clifford Geertz The Religion of Java yang
ditulis pada awal 1960an menjadi karya yang populer
sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di
Indonesia khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang
mengungkapkan tentang adanya trikotomi-abangan,
santri dan priyayi-di dalam masyarakat Jawa, ternyata
telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan
analisis baik tentang hubungan antara agama dan
budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik.
Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya
Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah
mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam
tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan
itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba
menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka
yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.
Pandangan
trikotomi Geertz tentang pengelompokan masyarakat
Jawa berdasar religio-kulturalnya berpengaruh terhadap
cara pandang para ahli dalam melihat hubungan agama
dan politik. Penjelasan Geertz tentang adanya pengelompokkan
masyarakat Jawa ke dalam kelompok sosial politik
didasarkan pada orientasi ideologi keagamaan. Walaupun
Geertz mengkelompokkan masyarakat Jawa ke dalam
tiga kelompok, ketika dihadapkan pada realitas politik,
yang jelas-jelas menunjukkan oposisinya adalah kelompok
abangan dan santri. Pernyataan Geertz bahwa abangan
adalah kelompok masyarakat yang berbasis pertanian
dan santri yang berbasis pada perdagangan dan priyayi
yang dominan di dalam birokrasi, ternyata mempunyai
afiliasi politik yang berbeda. Kaum abangan lebih
dekat dengan partai politik dengan isu-isu kerakyatan,
priyayi dengan partai nasionalis, dan kaum santri
memilih partai-partai yang memberikan perhatian
besar terhadap masalah keagamaan.
Teori
politik aliran ini, menurut Bahtiar Effendy memberikan
arti penting terhadap wacana tentang hubungan antara
agama-khususnya Islam-dan negara. Teori politik
aliran dapat digunakan untuk memberikan penjelasan
yang baik mengenai salah satu dasar (basis) pengelompokkan
religio-sosial di Indonesia. Pengelompokkan sosial
tersebut mempengaruhi pola interaksi politik yang
lebih luas di Indonesia.
Karya
Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi
bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil
membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama
dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat
langsung secara detil hubungan antara agama dan
masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi
yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat
agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat
bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan
diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang
bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting
untuk melihat agama yang dipraktikkan.
Kepentingan
untuk melihat agama dalam masyarakat juga sangat
penting jika dikaitkan dengan wacana posmodernisme
yang berkembang belakangan ini. Walaupun para ilmuwan
sosial masih mendebatkan apakah yang disebut sebagai
posmodernis adalah "fenomena" atau sebuah
kerangka "desconstruction theory", mereka
bersepakat tentang bangkitnya-dalam arti diakuinya
kembali local knowledge sebagai sebuah kebenaran-budaya
lokal dalam percaturan dunia global. Bagi ahli politik,
misalnya apa yang disinyalir oleh Fukuyama dengan
klaimnya The End of History and the Last Man, globalisasi
berarti adalah diterimanya sistem demokrasi liberal
sebagai satu sistem yang laik dipakai. Bagi ahli
ekonomi, wujudnya sistem moneter ala Keynesian telah
membuktikan bahwa dunia perekonomian menganut satu
sistem. Penggunaan alat telekomonukasi dan komputer
dengan internetnya dapat juga membuktikan bahwa
globalisasi telah mencapai pada satu kesepakatan
bersama. Namun bagi ilmu sosial, utamanya mereka
yang terlibat langsung dengan urusan budaya seperti
antropologi, globalisasi mengimplikasikan makna
yang lain. Terbukanya komunikasi dan ruang bagi
dialog antarbudaya memungkinkan masing-masing budaya
untuk mengungkapkan atau memberikan alternatif terhadap
kebenaran. Ungkapan terkenal James Clifford tentang
runtuhnya "mercu suar" untuk mengklaim
suatu kenyataan dengan ukuran rasionalitas Barat,
menunjukkan bangkitnya "pengetahuan lokal"
di era posmodernisme. Artinya pertanyaan apakah
globalisasi nanti akan juga menyatukan budaya dunia
atau akan munculnya kembali budaya-budaya lokal
dalam pertarungan dunia, menjadi sangat penting.
Bassam
Tibbi mengungkapkan bahwa globalisasi memungkin
manusia untuk melakukan dialog antarkebudayaan yang
ada di dunia. Ia mengakui bahwa fenomena demokrasi
adalah fenomena universal yang mau tidak mau mempengaruhi
masyarakat lain yang tidak mempunyai tradisi demokrasi
untuk mengadopsinya. Namun demikian hal itu tidak
berarti bahwa budaya-budaya lokal harus menyerah
dan digantikan total dengan demokrasi. Bassam Tibbi
tidak menafikan bahwa ada perbedaan-perbedaan yang
nyata antara penafsiran demokrasi di Barat dan di
wilayah lain sehingga muncul adanya Demokrasi Asia
(Asian Democracy) atau Demokrasi Islam (Islamic
Democracy). Tetapi perbedaan itu bukan berarti akan
menimbulkan konflik seperti apa yang disinyalir
oleh Samuel Huntington. Ia lebih optimis melihat
perbedaan itu sebagai awal dari keharusan untuk
mengadakan dialog antarbudaya untuk menelorkan yang
ia sebut sebagai "international morality",
suatu sistem nilai dunia yang dihasilkan dari gabungan
nilai-nilai terbaik dari budaya-budaya yang ada.
Jika
kembali pada persoalan kajian antropologi bagi kajian
Islam, maka dapat dilihat relevansinya dengan melihat
dari dua hal. Pertama, penjelasan antropologi sangat
berguna untuk membantu mempelajari agama secara
empirik, artinya kajian agama harus diarahkan pada
pemahaman aspek-aspek social context yang melingkupi
agama. Kajian agama secara empiris dapat diarahkan
ke dalam dua aspek yaitu manusia dan budaya. Pada
dasarnya agama diciptakan untuk membantu manusia
untuk dapat memenuhi keinginan-keinginan kemanusiaannya,
dan sekaligus mengarahkan kepada kehidupan yang
lebih baik. Hal ini jelas menunjukkan bahwa persoalan
agama yang harus diamati secara empiris adalah tentang
manusia. Tanpa memahami manusia maka pemahaman tentang
agama tidak akan menjadi sempurna.
Kemudian
sebagai akibat dari pentingnya kajian manusia, maka
mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan
manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan,
sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi
kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial
manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami
manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah
makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web)
kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya
adalah jaring-jaring itu. Geertz kemudian mengelaborasi
pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern
of meaning) yang diwariskan secara historis dan
tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia
kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang
kehidupan. Oleh karena itu analisis tentang kebudayaan
dan manusia dalam tradisi antropologi tidaklah berupaya
menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam,
melainkan kajian interpretatif untuk mencari makna
(meaning).
Dipandang
dari makna kebudayaan yang demikian, maka agama
sebagai sebuah sistem makna yang tersimpan dalam
simbol-simbol suci sesungguhnya adalah pola makna
yang diwarisi manusia sebagai ethos dan juga worldview-nya.
Clifford Geertz mengartikan ethos sebagai "tone,
karakter dan kualitas dari kehidupan manusia yang
berarti juga aspek moral maupun estitika mereka."
Bagi Geertz agama telah memberikan karakter yang
khusus bagi manusia yang kemudian mempengaruhi tingkah
laku kesehariannya. Di samping itu agama memberikan
gambaran tentang realitas yang hendak dicapai oleh
manusia. Berdasar pada pengertian ini agama sebagai
ethos telah membentuk karakter yang khusus bagi
manusia, yang kemudian dia bisa memenuhi gambaran
realitas kehidupan (worldview) yang hendak dicapai
oleh manusia.
Kajian
antropologi juga memberikan fasilitas bagi kajian
Islam untuk lebih melihat keragamaan pengaruh budaya
dalam praktik Islam. Pemahaman realitas nyata dalam
sebuah masyarakat akan menemukan suatu kajian Islam
yang lebih empiris. Kajian agama dengan cross-culture
akan memberikan gambaran yang variatif tentang hubungan
agama dan budaya. Dengan pemahaman yang luas akan
budaya-budaya yang ada memungkinkan kita untuk melakukan
dialog dan barangkali tidak mustahil memunculkan
satu gagasan moral dunia seperti apa yang disebut
Tibbi sebagai "international morality"
berdasarkan pada kekayaan budaya dunia.
Tradisi
Antropologi dalam Kajian Agama: Kajian Empirik Relasi
Agama dan Sosial
Walaupun
sejak awal disadari bahwa kajian tentang agama akan
mengalami kesulitan karena meneliti sesuatu yang
menyangkut kepercayaan (beliefs) yang ukuran kebenarannya
terletak pada keyakinan, tradisi antropologi untuk
mengkaji agama, terutama abad ke 16 dan 17, berkembang
dengan pesat. Evans-Pritchard, salah seorang pionir
dalam tradisi antropologi sosial di Inggris, mengatakan
bahwa dilema kajian tentang agama adalah bahwa pemahaman
realitas agama tidak akan sepenuhnya dapat difahami
kecuali oleh orang yang mengamalkan agama itu sendiri.
Hal ini pernah ia rasakan, misalnya, ketika menulis
tentang perjuangan para Sufi di Cyrenica Libia melawan
penjajahan Italia, dimana ia merasa kesulitan untuk
menjelaskan fenomena ketaatan pengikut Sufi kepada
guru Sufi mereka. Tak dapat disangkal bahwa kemudian
Evans-Pritchard dapat menggambarkan fenomena Sufi
di Cyrenica dengan penuh empati.
Kesulitan
mempelajari agama dengan pendekatan budaya, dengan
mempelajari wacana, pemahaman dan tingkah laku manusia
dalam hubungannya dengan ajaran agama, dirasakan
juga oleh mereka yang beragama. Kesulitan itu terjadi
karena ketakutan untuk membicarakan masalah agama
yang sakral dan bahkan mungkin tabu untuk dipelajari.
Persoalan itu ditambah lagi dengan keyakinan bahwa
agama adalah bukan hasil rekayasa intelektual manusia,
tetapi berasal dari wahyu suci Tuhan. Sehingga realitas
keagamaan diyakini sebagai sebuah "takdir sosial"
yang tak perlu lagi dipahami.
Namun
sesungguhnya harus disadari bahwa tidak dapat dielakkan
agama tanpa pengaruh budaya-ulah pikir manusia-tidak
akan dapat berkembang meluas ke seluruh manusia.
Bukankah penyebaran agama sangat terkait dengan
usaha manusia untuk menyebarkannya ke wilayah-wilayah
lain. Dan bukankah pula usaha-usaha manusia, jika
dalam Islam bisa dilihat peran para sahabat, menerjemahkan
dan mengkonstruksi ajaran agama ke dalam suatu kerangka
sistem yang dapat diikuti oleh manusia. Lahirnya
ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu fikih dan ilmu usul
fikih adalah hasil konstruksi intelektual manusia
dalam menerjemahkan ajaran agama sesuai dengan kebutuhan
manusia di dalam lingkungan sosial dan budayanya.
Keberagaman sosial budaya yang ada di dunia ini
mengakibatkan pada kompleksitas agama.
Sebagai
fenomena universal yang kompleks, keberadaan agama
dalam masyarakat telah mendorong lahirnya banyak
kajian tentang agama. Kajian-kajian tentang agama
berkembang bukannya karena agama ternyata tak dapat
dipisahkan dari realitas sosial, tetapi ternyata
realitas keagamaan berperan besar dalam perubahan
sosial dan transformasi sosial. Socrates berapa
ribu tahun yang lalu menyatakan bahwa fenomena agama
adalah fenomena kemanusiaan. Pernyataan ini seringkali
digunakan para apologis agama untuk menguatkan keyakinan
mereka akan betapa mendasarnya posisi agama dalam
nilai-nilai kemanusiaan. Namun perlu juga ditandaskan
bahwa sikap mempertanyakan kembali makna agama dan
relevansinya dengan kehidupan sosial juga fenomena
universal yang ada dimana-mana. Kajian-kajian agama
baik dalam masyarakat primitif sampai pada masyarakat
yang modern menunjukkan bahwa keberadaan agama selalu
mengandung dua sisi yang berbarengan, yaitu kecenderungan
transendensi dan sekularisasi.
Secara
garis besar kajian agama dalam antropologi dapat
dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis;
intellectualist, structuralist, functionalist dan
symbolist. Tradisi kajian agama dalam antropologi
diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang
intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi
agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat
perkembangan (religious development) dalam satu
masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya
E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama
sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural.
Walaupun definisi agama ini sangat minimalis, definis
ini menunjukkan kecenderungan melakukan generalisasi
realitas agama dari animisme sampai kepada agama
monoteis. Makanya kecenderungan tradisi intelektualisme
ini kemudian meneliti dari sudut perkembangan agama
dari yang anismisme menuju monoteisme. Menurut Mircea
Eliade perkembangan agama menujukkan adanya gejala
seperti bandul jam yang selalu bergerak dari satu
ujung ke ujung yang lain. Demikian juga agama berkembang
dari kecenderungan anismisme menuju monoteisme dan
akan kembali ke animisme. Tetapi, berdasar pada
ajaran yang terdapat dalam kitab suci, Max Muller
berpandangan bahwa agama bermula dari monotheisme
kemudian berkembang menjadi agama-agama yang banyak
itu.
Ketiga
teori, strukturalis, fungsionalis dan simbolis,
sesungguhnya lahir dari Emile Durkheim. Buku Durkheim,
The Elementary Forms of the Religious Life, telah
mengilhami banyak orang dalam melihat agama. Lewat
buku itu Durkheim ingin melihat agama dari bentuknya
yang paling sederhana yang diimani oleh suku Aborigin
di Asutralia sampai ke agama yang well-structured
dan well-organised seperti yang dicerminkan dalam
agama monoteis. Durkheim menemukan bahwa aspek terpenting
dalam pengertian agama adalah adanya distingsi antara
yang sacred dan yang profan. Namun demikian ia tak
setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa yang
sacred itu selalu bersifat spiritual. Dalam agama
sederhana suku Aborigin Australia ditemukan bahwa
penyembahan kepada yang sacred ternyata diberikan
kepada hal-hal yang profan semisal Kanguru.
Di
samping kritik terhadap pendekatan intelektualis
itu, Durkheim juga mengungkapkan bahwa masyarakat
dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang
diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini
maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah "struktur
dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus
moral." Pandangan ini yang mengilhami para
antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural
dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss
adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan
pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari
jawaban hubungan antara individu dan masyarakat.
Bagi Levi-Strauss agama baik dalam bentuk mitos,
magic adalah model bagi kerangka bertindak bagi
individu dalam masyarakat. Jadi pandangan sosial
Durkheim dikembangkan oleh Levi-Strauss kepada tidak
saja secara hubungan sosial tetapi juga dalam ideologi
dan pikiran sebagai struktur sosial.
Sementara
itu pandangan Durkheim tentang fungsi dalam masyarakat
sangat berpengaruh dalam tradisi antropologi sosial
di Inggris. Pandangan Durkheim yang mengasumsikan
bahwa masyarakat selalu dalam keadaan equilibrium
dan saling terikat satu dengan yang lain, telah
mendorong para antropolog untuk melihat fungsi agama
dalam masyarakat yang seimbang tersebut. Fungsi
psikologi agama, sebagai penguat dari ikatan moral
masyarakat dan fungsi sosial agama sebagai penguat
solidaritas manusia menjadi dasar dari perkembangan
teori fungsionalisme. Branislaw Malinowski mengatakan
bahwa fungsi agama dalam masyarakat adalah memberikan
jawaban-jawaban terhadap permasalahan-permasalahan
yang tidak dapat diselesaikan dengan common sense-rasionalitas
dan kemampuan menggunakan teknologi. Dalam setiap
kali menyelesaikan persoalan-persoalannya, manusia
menggunakan kemampuan rasionalitas dan penciptaan
teknologi. Ketika sebuah masyarakat traditional
Suku Trobiand di daerah pesisir Papua Nugini menemukan
bahwa ladangnya telah dirusak oleh babi hutan, maka
dengan kemampuan rasionalitas dan penguasaan teknologinya
masyarakat suku Trobiand membuat pagar agar babi
tak dapat lagi masuk ke ladangnya. Namun ketika
hendak berburu ikan di lautan, dimana gelombang
lautan dan cuaca yang tidak dapat mereka kontrol
dengan kemampuan rasionalitas dan teknologi, mereka
menggunakan agama sebagai pemecahnya. Maka sebelum
mereka berlayar, mereka melakukan ritual dengan
sesaji sebagai sarana komunikasi dengan kekuatan
spiritual untuk menyelesaikan masalah yang unpredictable.
Teori
simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade
70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim,
walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun
teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna
dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu
aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat
mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan
ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan
teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan
kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat
Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah
simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk
menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat
Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik
keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama. Oleh
karena itu, ritual, utama cult ritual (ritual yang
berhubungan dengan masalah-masalah ketidakberuntungan-misfortune)
mengandung empat fungsi sosial yang penting. Pertama,
ritual sebagai media untuk mengurangi permusuhan
(reduce hostility) di antara warga masyarakat yang
disebabkan adanya kecurigaan-kecurigaan niat jahat
seseorang kepada yang lain. Kedua, ritual digunakan
untuk menutup jurang perbedaan yang disebabkan friksi
di dalam masyarakat. Ketiga, ritual sebagai sarana
untuk memantapkan kembali hubungan yang akrab. Keempat,
ritual sebagai medium untuk menegaskan kembali nilai-nilai
masyarakat. Jadi Turner melihat ritual tidak hanya
sebagai kewajiban (prescribed) saja, melainkan sebagai
simbol dari apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat.
Di
samping tradisi intelektual dan tiga tradisi-strukturalis,
fungsionalis dan simbolis-yang berakar dari tradisi
Durkheim, ada tradisi dalam kajian agama yang berkembang
dari pandangan-pandangan Weber. Tidak seperti halnya
tradisi-tradisi intelektualis dan tradisi Durkheimian,
Weber lebih tertarik untuk melihat hubungan antara
doktrin agama dan aktifitas duniawi manusia, seperti
misalnya ekonomi dan politik. Oleh karena itu Weber
tidak tertarik untuk mendiskusikan definisi atau
argumentasi rasionalitas keberadaan agama. Dalam
kajian tentang hubungan antara etika Protestan,
khususnya sekte Calvinisme, dan perkembangan kapitalisme
modern, menunjukkan minat Weber untuk mendiskusikan
hubungan antara religious ethic dan kapitalisme.
Ajaran etika tentang bekerja keras yang selalu muncul
dalam tulisan-tulisan pendeta sekte Calvinisme dan
yang juga menjadi tema-tema yang diulang-ulang dalam
ceramah keagamaan sekte ini, adalah sesuai dengan
karakter buruh modern.
Tradisi
yang dikembangkan oleh Weber ini banyak diikuti
oleh ilmuwan sosial utamanya di Amerika. Kajian
yang dilakukan oleh Robert N. Bellah tentang Tokugawa
Religion yang mencoba melihat hubungan etika agama
dengan restorasi Meiji, dan juga kajian yang dilakukan
oleh Geertz tentang pasar di Jawa dan priyayi Bali
memakai pendekatan yang dipakai oleh Weber. Kajian-kajian
yang demikian ini tidak lagi mempersoalkan benar
dan salahnya suatu agama, tetapi melihat sejauhmana
agama-aspek idealisme-mempengaruhi perilaku sosial
manusia.
Akibat
yang nyata dari pendekatan kajian di atas menempatkan
agama pada realitas empiris yang dapat dilihat dan
diteliti. Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan
keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi
teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama
dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di
sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris,
sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam
kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal
yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi
hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial.
Jika
agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka
sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah
juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia
digambarkan sebagai khalifah (wakil) Tuhan di muka
bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa
sesungguhnya realitas manusia adalah realitas ketuhanan.
Tanpa memahami realitas manusia-termasuk di dalamnya
adalah realitas sosial budayanya-pemahaman terhadap
ketuhanan tidak akan sempurna, karena separuh dari
realitas ketuhanan tidak dimengerti. Di sini terlihat
betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi
pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Pentingnya
mempelajari realitas manusia ini juga terlihat dari
pesan Al-Qur'an ketika membicarakan konsep-konsep
keagamaan. Al-Qur'an seringkali menggunakan "orang"
untuk menjelaskan konsep kesalehan. Misalnya, untuk
menjelaskan tentang konsep takwa, Al-Qur'an menunjuk
pada konsep "muttaqien", untuk menjelaskan
konsep sabar, Al-Qur'an menggunakan kata "orang
sabar" dan seterusnya. Kalau kita merujuk pada
pesan Qur'an yang demikian itu sesungguhnya, konsep-konsep
keagamaan itu termanifestasikan dalam perilaku manusia.
Oleh karena itu pemahaman konsep agama terletak
pada pemahaman realitas kemanusiaan.
Dengan
demikian realitas manusia sesungguhnya adalah realitas
empiris dari ketuhanan. Dan persoalan-persoalan
yang dihadapi manusia adalah cerminan dari permasalahan
ketuhanan. Maka mempelajari realitas manusia, dengan
segala aspeknya, adalah mempelajari Tuhan-baca agama-dalam
realitas empiris. Kenyataan bahwa realitas manusia-yang
tercermin dalam bermacam-macam budaya-beragam, maka
diperlukan kajian cross culture untuk melihat realitas
universal agama. Marshal Hodgson menggambarkan bahwa
bermacam-macamnya manifestasi agama dalam kebudayaan
tertentu-little tradition-sesungguhnya adalah mosaik
dari realitas universal agama-great tradition.
Kajian
Islam di Asia Tenggara: Kajian Agama dalam Perspektif
Cross-Culture
Satu
hal yang perlu disesali adalah pengenalan Muslim
Indonesia terhadap kenyataan sosial dari masyarakat
Muslim di dunia sangat kurang. Kalaupun kita mengaku
kenal dengan Muslim di wiliyah lain, pengetahuan
mereka baru terbatas pada kenyataan bahwa mereka
adalah sesama Muslim. Tetapi jika ditanyakan tentang
keadaan sosial dan budaya mereka, nampaknya tidaklah
banyak yang mereka ketahui. Hal ini dikarenakan
kajian keislaman di Indonesia kurang memperhatikan
masalah sosial budaya di negara-negara Muslim. Misalnya
saja bagaimana keadaan Islam di Iran dan bagaimana
Islam berinteraksi dengan budaya Persia, kurang
sekali dipelajari. Padahal informasi mengenai keadaan
sosial budaya wilayah Muslim di dunia cukup banyak.
Buku-buku yang ditulis oleh antropolog tentang mereka
cukup banyak.
Kenyataan
di atas menunjukkan bahwa kajian agama dengan menggunakan
perspektif cross culture dibutuhkan untuk lebih
memahami realitas agama yang lebih luas. Kajian
agama dalam perspektif lintas budaya sangat berguna
untuk melihat realitas empiris agama dalam wilayah
yang luas. Pemahaman tentang realitas yang berbeda
akhirnya akan menumbuhkan sikap menghargai terhadap
perbedaan dalam melaksanakan agama. Lebih dari itu
kajian lintas budaya juga akan memberikan informasi
tentang betapa realitas agama tidak bisa steril
dari pengaruh budaya. Sebagai contoh kajian lintas
budaya di sini akan di bahas Islam di Asia Tenggara.
Sebagai
wilayah kajian maupun sebagai salah satu area kajian,
Islam di Asia Tenggara dan Indonesia khususnya pada
awalnya tidak menarik perhatian. Meskipun demikian,
dalam perkembanngannya, dengan memakai ukuran apapun
Islam di Asia Tenggara merupakan suatu komunitas
Muslim penting. Tidak saja karena jumlah penduduk
Muslim yang hampir separuh dari penduduk dunia Islam-dengan
Indonesia yang mencapai 80 % dari 200 juta-- tetapi
juga karena perkembangan Islam di Asia Tenggara
termasuk paling mengesankan. Jika pada dekade 1980-an
dan sebelumnya, Islam di Asia Tenggara tidak dilirik
sama sekali-misalnya diungkapkapkan oleh Denys Lombard-ataupun
dianggap sebagai suatu komunitas Islam marginal-John
L. Esposito-ataupun dianggap sebagai bukan Islam
sebenarnya karena ciri sinkretik yang begitu menonjol,
sekarang Islam di Asia Tenggara menjadi perhatian
yang khusus.
Ada
beberapa alasan mengapa Islam di Asia Tenggara mendapat
perhatian. Pertama, perkembangan Islam di Asia Tenggara
mengesankan terutama jika dikaitkan dengan wacana
global dunia. Dalam menyikapi perubahan dunia akibat
globalisasi, Islam di Asia Tenggara bisa dikatakan
sebagai salah satu yang paling maju, selain tentu
saja Pakistan dengan ahli-ahlinya yang berpengaruh
di Amerika. Pergumulan intelektual Muslim Asia Tenggara
dengan ide-ide gender, demokrasi, civil society
ataupun human rights menempatkan Islam Asia Tenggara
sebagai pelopor, atau paling tidak yang paling inten
mengikuti perkembangan ide-ide global tersebut.
Kedua,
corak pendidikan para intelektual Muslim di Asia
Tenggara yang lebih menerima ide-ide ilmu sosial
yang berkembang di Barat, seperti misalnya Nurcholish
Madjid, Kuntowijoyo, Anwar Ibrahim, Chandra Muzaffar
dan lain sebagainya, dalam menerjemahkan maupun
mengartikulasikan nilai-nilai normatif Islam, menjadikan
perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak teralineasi
dari perkembangan global. Tidak mengherankan jika
kajian-kajian Islam di wilayah Asia Tenggara tersebut
diwarnai semangat penerjemahan Islam ke dalam konteks
yang empiris. Semaraknya kajian-kajian sosial budaya
di kalangan Muslim Asia Tenggara, utamanya di Indonesia,
telah mengangkat harkat, atau setidaknya, membawa
orang Muslim ikut aktif terlibat dalam perdebatan
intelektual masa kini.
Ketiga,
Islam Asia Tenggara memberikan gambaran real terhadap
apa yang disebut sebagai Islam lokal, yang mencerminkan
suatu pertemuan budaya, sosial dan intelektual antara
budaya lokal dan Islam. Beragamnya suku bangsa dan
etnis di Asia Tenggara, memberikan suatu gambaran
nyata bagaimana Islam dapat survive sekaligus membentuk
suatu komunitas religious. Memang keunikan Islam
di Asia Tenggara memberikan citra yang kurang jika
dibandingkan dengan Islam yang ada di masyarakat
Arab. Anthony Reid misalnya mengatakan bahwa posisi
Islam di Asia Tenggara yang lebih menonjol warna
lokalnya-bahkan hingga lingua franca bagi komunikasi
Islam di Asia Tenggara tidak menggunakan bahasa
Arab melainkan Jawi Melayu-membuat Islam Asia Tenggara
termarjinalkan dari wacana Islam secara menyeluruh.
Namun
dengan semakin menguatnya konsep-konsep posmodernisme
yang memberikan peranan besar terhadap local knowledge
membuat Islam di Asia Tenggara menjadi perbincangan
yang hangat. Di samping itu tentu tanggapan intelektual
Muslim Asia Tenggara yang toleran menerima bahkan
tidak jarang yang menjadi pembela ilmu-ilmu sosial
Barat menempatkan Islam di Asia Tenggara sebagai
pusat pertemuan antara Islam, budaya lokal dan katakanlah
modernisme. Oleh karena itu kajian yang mendalam
tentang perkembangan Islam di Asia Tenggara, khususnya
Indonesia dan Malaysia, yang menjadi mayoritas utama
komunitas Muslim di Asia Tenggara, menjadi sangat
penting.
Ada
beberapa pilihan kajian yang dapat dikembangkan
untuk mengetahui lebih lanjut tentang Islam di Asia
Tenggara. Pertama, kajian tentang pertemuan budaya
lokal dan Islam yang telah sekian lama berproses.
Anthony Reid dan juga Kuntowijoyo menyebutkan bahwa
tidak berlebihan jika keberadaan Islam di Asia Tenggara
telah menjadi wacana agama rakyat (popular religion).
Konversi agama ke Islam sering disebut, terutama
di daerah suku Melayu sebagai "menjadi Melayu."
Kedua, beragamnya corak suku etnis dan bahasa yang
ada di Asia Tenggara dapat dijadikan sebagai contoh
untuk mengetahui corak lokal, atau sebutnya saja
lahirnya Islam lokal di Asia Tenggara. Dale F. Eickelman,
seorang antropolog yang meneliti secara serius terhadap
pembentukan Islam lokal di Maroko, dan kemudian
dia menulis suatu buku yang bagus tentang Muslim
politik di berbagai wilayah sosial, mengatakan bahwa
perkembangan Islam dalam suatu wilayah itu dipengaruhi
oleh dua kondisi sosial; historical experience dan
gerational location (yang kedua ini dia pinjam dari
Karl Manheim). Seperti halnya Michel Faucault yang
melihat bahwa wujud suatu wacana tidak dapat dipisahkan
dari suatu kondisi sejarah lingkungannya, Eickelman
menyatakan hal yang sama. Namun ia menambahkan perlunya
memahami suatu realitas sosial dari sudut experience
(pengalaman) dimana orang tersebut merasa, memahami
dan mengamalkan suatu agama. Jadi memahami suatu
lokal Islam di suatu tempat harus mempertimbangkan
sejarah maupun pengalaman subjek yang mengalaminya.
Sementara itu corak berpikir serta pengalaman sosial
juga sangat dipengaruhi oleh suatu generasi dimana
ia hidup. Eickelman mencotohkan bahwa ketika orang
Maroko dikuasai oleh wacana Sufi (dalam istilah
lokal mereka dinamakan Marabout), seluruh perilaku
keagamaan di Maroko dipengaruhi oleh wacana Sufi.
Keberadaan Islam lokal di Asia Tenggara sangat dipengaruhi
oleh kedua unsur tersebut.
Ketiga,
sebagaimana Marshal Hodgson dalam bukunya The Venture
of Islam yang begitu banyak dikutip, utamanya kritik
tajam dia terhadap Clifford Geertz, mengusulkan
suatu kajian Islam lintas wilayah dan budaya. Artinya
bahwa keberadaan Islam yang menyebar dari Maroko
sampai ke Mindanao adalah sebuah tantangan bagi
para pemerhati tentang Islam untuk menjelaskan fenomena
tersebut. Tidak saja dari sudut penyebarannya, melainkan
dari sudut wujud lokal Islam yang menjadi ciri khas
dari tiap-tiap daerah. Misalnya ia mengatakan bahwa
Islam di Spanyol telah mewariskan suatu etika religious
yang kental dalam proses pemunculan karya seni,
sementara di Persia Islam telah mengilhami lahirnya
puisi-puisi indah tentang cinta ketuhanan. Hodgson
berkeyakinan bahwa dari terbentangnya Islam itu
tersembunyi suatu benang merah yang menyatukan Islam.
Kajian
tentang agama dan budaya di Indonesia tentunya dapat
mengembangkan konsep-konsep di atas. Sebab bukan
saja Islam di Indonesia menawarkan suatu kekayaan
realitas keagamaan, tetapi lebih dari itu Islam
di Indonesia dapat dijadikan model dalam menghadapi
dua hal. Pertama, model untuk menjembatani antara
budaya lokal dan Islam, mengingat Indonesia terdiri
dari beberapa etnis budaya. Perbedaan-perbedaan
manifestasi Islam di setiap wilayah akan memberikan
model bagi penjelajahan teori. Kedua, Islam lokal
di Indonesia mungkin bisa dijadikan model untuk
melihat hubungan antara Islam dan dunia modern.
Situasi pluralitas budaya Indonesia yang Islam dapat
dijadikan suatu model bagaimana negara Islam menerima
ide-ide global. Misalnya saja pengalaman Indonesia
dalam berdemokrasi akan sangat berarti bagi dunia
Muslim lainnya.
Berikut
ini, walaupun tidak baru, saya akan mencoba menawarkan
beberapa alternatif model riset yang pernah ditawarkan
untuk meneliti Islam, utamanya dalam hubungannya
dengan budaya.
Islam
popular dan Islam formal
Konsep
Islam popular dan Islam formal diadopsi dari konsep
popular religion and official religion yang berkembang
di agama-agama yang mempunyai sistem kependetaan
yang berjenjang serta mempunyai "office"
(kekuasaan) untuk menentukan kebenaran suatu pengamalan
agama. Konsep seperti ini dapat dilihat dalam sejarah
kuno agama Kristen yang mempunyai sistem eklestial
pendeta, di mana pendeta mempunyai kuasa untuk menghakimi
kebenaran suatu pengalaman agama. Praktik agama
yang sesuai dengan keputusan dewan kependetaan inilah
yang dianggap sebagai suara resmi, "offical,"
gereja tentang praktik agama yang benar. Tanpa persetujuan
dari dewan gereja, maka suatu pengalaman keagamaan
dianggap tidak sah. Pengamalan keagamaan yang masuk
dalam kategori kedua ini adalah praktik-praktik
keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal, atau
bahkan pengamalan dari tradisi-tradisi keagamaan
lokal sebelum datangnya Kristen. Karena kebanyakan
dari kalangan awam yang melakukan kegiatan keagaman
model kedua ini maka julukan popular religion dipakai.
Walaupun
dalam batasan tertentu Islam mungkin juga mengenal
suatu lembaga yang dapat mengklaim kebenaran suatu
pengamalan agama, sifat dari keputusan lembaga itu
tidak dapat mengikat semua Muslim. Hal ini jelas
berbeda dengan tradisi Kristen. Dan jika yang dipakai
ukuran popular Islam adalah praktik keagamaan yang
telah bercampur dengan tradisi lokal, dalam Islam
tentu sulit untuk menemukan suatu pengamalan keagamaan
yang tidak dipengaruhi oleh tradisi lokal. Karena
bervariasinya, maka tidak ada suatu paradigma tunggal
yang dapat dipakai untuk menghakimi mana yang official
dan popular.
Meskipun
demikian, dengan mengesampingkan perbedaan itu,
beberapa ahli memakai kerangka ini untuk meneliti
tentang Islam. Gambaran umum yang ditemui kemudian
adalah bahwa popular Islam itu berwujud praktik
tasawuf yang memang banyak dipraktikkan oleh masyarakat
bawah atau masyarakat kebanyakan. Misalnya saja
Michael Gilsenan meneliti Sufi di Mesir dan di Yaman,
Eickelman di Maroko, Evans-Pritchard di Libia, Trimingham
di Afrika Timur dan yang lain-lainnya.
Disamping
itu, Jaques Waardenburg juga memakai konsep popular
Islam untuk meneliti dua hal. Pertama, Waardenburg
memakai konsep popular Islam untuk merujuk pada
praktik-praktik keagamaan yang bersifat lokal seperti
ritual untuk memperingati kelahiran Nabi, ritual
untuk menghormati kehidupan Sufi dan tradisi-tradisi
keagamaan yang merakyat. Kedua, gerakan-gerakan
keagamaan semacam ratu adil, milleniarisme, kuktus-kultus
Sufi dan tokoh agama tertentu.
Contoh
yang baik tentang kajian popular dan official ini
mungkin Ernest Gellner dalam bukunya Saint of The
Atlas dan teory pendulum swing-nya. Gellner dalam
kajiannya menunjukkan bahwa dua kategori tersebut
dapat diartikan sebagai perwujudan dari dua tradisi,
little tradition and great tradition, istilah yang
dikembangkan oleh Robert Redfield. Popular Islam
adalah cerminan dari wujudnya little tradition dalam
Islam yang dalam bentuknya terlihat jelas dalam
praktik Sufi atau pengamalan keagamaan yang berpusat
pada tokoh-tokoh kharismatik. Sementara offical
Islam tercermin dalam kehidupan para intelektual
Islam yang cenderung berfikir formal dan legalistik
yang dikategorikan oleh Gellner sebagai Muslim yang
lebih berorientasi pada syari'ah. Bagi Gellner dua
kecenderungan ini dalam elit agama direpresentasikan
oleh Sufi, sebagai elit popular Islam, dan ulama,
sebagai representasi kecenderungan formal agama.
Dua kelompok beragama ini selalu berebut kekuasaan
dan berusaha untuk menjadi pemimimpin umat.
Sebagai
kelanjutan dari proses konflik tersebut, Gellner
memetakan mereka ke dalam dua kubu: Sufi, di satu
sisi, merupakan kubu agama yang lebih mementingkan
social cohesion sebagai inti kekuatannya yang berbasis
di desa (rural), dan ulama, di sisi lain, yang dominan
di kota (urban) dan cenderung lebih profesional
dan rasional namun lemah ikatan sosialnya. Dalam
pertarungan politik agama dua kekuatan yang berbeda
basis ini selalu saling bergantian, seperti bandul
jam (pendulum) yang akan bergoyang kembali ke sisi
lain setelah ia sampai pada sisi yang satunya. Untuk
menjelaskan hal ini Gellner meminjam teori Ibn Khaldun
yang berkeyakinan bahwa sesungguhnya pusat peradaban
Islam itu berpusat di kota (madinatul munawarah).
Namun kekuasaan kota itu akan dapat terbentuk dari
kekuatan massa yang mempunyai social cohesion yang
kuat. Menurut Ibn Khaldun kekuatan massa Islam desa
yang didukung oleh social cohesion akan dapat mengantarkannya
ke peta kekuasaan kota. Tetapi, kata Ibn Khaldun
lagi, setelah kekuatan massa rural itu sampai ke
pusat kekuasaan, ia akan mengalami fragmentasi sosial
sebagai suatu gejala umum perkotaan. Sehingga ia
akan dikalahkan lagi oleh kekuatan dari rural area
yang mempunyai social cohesion lebih besar.
Analisis
Gellner dan Ibn Khaldun ini bisa mendukung kajian-kajian
kelembagaan agama Islam maupun karakteristiknya
baik yang di kota maupun di desa untuk memprediksi
kelanjutan proses perjalanan sejarah Islam. Analisis
yang demikian ini juga dapat digunakan untuk melihat
organisasi-organisasi Islam di Indonesia dalam kaitan
percaturan politik umat. Misalnya apakah naiknya
Nahdlatul Ulama (NU) sekarang ini ke panggung kekuasaan
dapat dilihat sebagai suatu hasil dari kekuatan
massa yang mempunyai social cohesion yang kuat menggantikan
massa modernis di kota yang telah dilanda fragmentasi
yang akut. Dengan pendekatan analisis budaya, tipe-tipe
organisasi keagamaan tersebut dapat ditelusuri secara
mendalam.
Agama
Sebagai Sistem Budaya
Geertz
adalah orang pertama yang mengungkapkan pandangan
tentang agama sebagai sebuah system budaya. Karya
Geertz, "Religion as a Cultural System,"
dianggap sebagai tulisan klasik tentang agama. Pandangan
Geertz, saat itu ketika teori-teori tentang kajian
agama mandeg pada teori-teori besar Mark, Weber
dan Durkheim yang berkutat pada teori fungsionalisme
dan struktural fungsionalisme, memberikan arah baru
bagi kajian agama. Geertz mengungkapkan bahwa agama
harus dilihat sebagai suatu system yang mampu mengubah
suatu tatanan masyarakat. Tidak seperti pendahulunya
yang menganggap agama sebagai bagian kecil dari
system budaya, Geertz berkayinan bahwa agama adalah
system budaya sendiri yang dapat membentuk karakter
masyarakat. Walaupun Geertz mengakui bahwa ide yang
demikian tidaklah baru, tetapi agaknya sedikit orang
yang berusaha untuk membahasnya lebih mendalam.
Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai:
"A
system of symbols which acts to establish powerful,
pervasive and long-lasting moods and motivations
of a general order of existence and clothing these
conceptions with such an aura of factuality that
the moods and motivations seem uniquely realistic."
Dengan
pandangan seperti ini, Geertz dapat dikategorikan
ke dalam kelompok kajian semiotic tradition warisan
dari Ferdinand de Saussure yang pertama mengungkapkan
tentang makna simbol dalam tradisi linguistik. Geertz
mengartikan simbol sebagai suatu kendaraan (vehicle)
untuk menyampaikan suatu konsepsi tertentu. Jadi
bagi Geertz norma atau nilai keagamaan harusnya
diinterpretasikan sebagai sebuah simbol yang menyimpan
konsepsi tertentu. Simbol keagamaan tersebut mempunyai
dua corak yang berbeda; pada satu sisi ia merupakan
modes for reality dan di sisi yang lainnya ia merupakan
modes of reality. Yang pertama menunjukkan suatu
existensi agama sebagai suatu sistem yang dapat
membentuk masyarakat ke dalam cosmic order tertentu,
sementara itu sisi modes of reality merupakan pengakuan
Geertz akan sisi agama yang dipengaruhi oleh lingkungan
sosial dan perilaku manusia.
Geertz
menerapkan pandangan-pandangannya untuk meneliti
tentang agama dalam satu masyarakat. Karya Geertz
yang tertuang dalam The Religion of Java maupun
Islam Observed merupakan dua buku yang bercerita
bagaimana agama dikaji dalam masyarakat. Buku The
Religion of Java memperlihatkan hubungan agama dengan
ekonomi dan politik suatu daerah. Juga bagaimana
agama menjadi ideologi kelompok yang kemudian menimbulkan
konflik maupun integrasi dalam suatu masyarakat.
Sementara itu Islam Observed ingin melihat perwujudan
agama dalam masyarakat yang berbeda untuk memperlihatkan
kemampuan agama dalam mewujudkan masyarakat maupun
sebagai perwujudan dari interaksi dengan budaya
lokal.
Penutup
dan Agenda Kajian Antropologi dalam Islam
Sekarang
ini ada kecenderungan untuk melihat Islam secara
menyeluruh dengan menonjolkan ciri-ciri Islam lokal.
Kajin semacam Marshal Hodgson yang mencoba menggabungkan
perjalan pergumulan Islam dengan budaya maupun peradaban
lokal menunjukkan suatu hasil yang memuaskan. Buku
The Venture of Islam, tidak saja menghasilkan sebuah
peta besar keberagaman Islam, tetapi juga merupakan
tantangan tersendiri bagi pengamat Islam untuk menerjemahkan
makna keberagaman itu. Di lain pihak, buku itu menyisakan
banyak homework untuk kita semua bagaimana mengembangkan
pemahaman dan kajian Islam di tingkat lokal untuk
melihat keragaman dan kekayaan Islam lokal.
Ira
M. Lapidus juga menekankan dalam karya-karyanya
untuk melihat keberagaman itu. Ia membagi periode
Islam ke dalam beberapa periode yang ia sebut sebagai
periode perkembangan paradigma melihat Islam. Ia
mengakui bahwa kenyataan pemeluk Islam yang terdiri
dari berbagai lapis budaya mencerminkan suatu curiosity
(penasaran) untuk meneliti lebih lanjut. Yang jelas,
kata Lapidus, di balik semua keberagaman itu Islam
di daerah-daerah Muslim berfungsi sebagai pemersatu
budaya. Namun yang lebih penting dari itu adalah
bagaimana kita menjelaskan suatu rangkain knowledge
yang utuh akan adanya Islam lokal itu.
Bagi
V.S. Naipaul ia seakan terpesona menyaksikan pengikut-pengikut
Islam menerjemahkan Islam ke dalam visi-visi kedaerahan.
Bukunya, Among the Believers menujukkan suatu perjalanan
untuk menyaksikan keberagaman Islam. Ia tidak saja
penting sebagai sebuah potret sosial, tetapi ia
juga penting sebagai awal pijakan untuk melihat
ke masa depan Islam.
Agaknya
kajian-kajian tentang agama dan budaya dapat kita
arahkan dalam berbagai kerangka. Pertama dapat kita
terapkan dalam upaya mencari konsep-konsep lokal
tentang bagaimana agama dan budaya berinteraksi.
Kedua, kajian tersebut dapat dipusatkan untuk mempetakan
Islam lokal dalam sebuah peta besar Islam universal.
Ketiga, local discourse atau local konwledge yang
tumbuh dari pergumulan agama dan budaya dapat dijadikan
sebagai tambahan wacana baru globalisasi. Kajian
tentang local Islam dapat dijadikan sebagai pengkayaan
wacana manusia.
Uraian
di atas memperlihatkan bahwa sesungguhnya pemahaman
agama tidak akan lengkap tanpa memahami realitas
manusia yang tercermin dalam budayanya. Posisi penting
manusia dalam Islam-seperti digambarkan dalam proses
penciptaannya yang ruhnya merupakan tiupan dari
ruh Tuhan-memberikan indikasi bahwa manusia menempati
posisi penting dalam mengetahui tentang Tuhan. Dengan
demikian pemahaman agama secara keseluruhan tidak
akan tercapai tanpa memahami separuh dari agama
yaitu manusia. Barangkali tidak berlebihan untuk
menyebut bahwa realitas manusia sesungguhnya adalah
realitas ketuhanan yang empiris. Di sinilah letak
pentingnya kajian antropologi dalam mengkaji Islam.
Sebagai ilmu yang mengkhususkan diri mempelajari
manusia-yang merupakan realitas empiris agama-maka
antropologi juga merupakan separuh dari ilmu agama
itu sendiri.***
PENDEKATAN ANTROPOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
4/
5
Oleh
Redaksi